Wawancara Khusus Angkasa Review dengan Dirut PTDI di Singapore Airshow 2018

Fery Setiawan

Dalam pelaksanaan Singapore Airshow 2018 di Changi Exhibition Centre, 6-11 Februari 2018, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) hadir dengan booth yang cukup besar. Walau kali ini tidak membawa produk pesawat untuk dipamerkan secara statik, kehadiran industri dirgantara yang berlokasi di Bandung di ajang kedirgantaraan bergengsi dua tahunan Singapore Airhsow sudah cukup menunjukkan kepada publik bahwa PTDI masih ada dan berkibar.

Lebih dari itu, hadirnya PTDI di Singapore Airshow 2018 adalah membawa sejumlah agenda sebagai bagian dari rangkaian promosi, lobi, dan pemasaran produk terhadap pihak lain. Singapore Airshow diikuti oleh lebih 1.000 peserta perusahaan dari 50 negara, kesempatan yang sangat berharga untuk bisa diambil manfaatnya.

Banyak tamu dari dalam maupun luar negeri mengunjungi booth PTDI. Dari dalam negeri, sebut di antaranya Menkopolhukam Wiranto, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Pangima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, KSAU Marsekal TNI Yuyu Sutisna, sejumlah gubernur/bupati dari sejumlah provinsi di Indonesia, serta pemilik/pemimpin perusahaan bidang penerbangan. Pada acara itu ditandatangani berbagai naskah kerja sama PTDI dengan berbagai pihak.

Adi Satryo/PTDI

Tim Angkasa Review berkesempatan pula untuk diterima oleh Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Elfien Goentoro didampingi oleh Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI Gita Amperiawan serta Direktur Niaga PTDI Irzal Rinaldi Zailani di sela-sela padatnya acara.

Berikut hasil wawancara khusus Angkasa Review yang dilakukan Roni Sontani dan Fery Setiawan:

Angkasa Review: Apa misi utama PTDI hadir di Singapore Airshow 2018 ini?

Elfien Goentoro: Kita di sini utamanya untuk N219 sebagai ujung tombak, sebagai tema yang kali ini kita usung. Ya memang, pencapaian tahun ini kita harus selesaikan sertifikasi untuk N219. Sehingga, tahun depan sudah mulai komersialisasi atau produksi N219. Ini target kita.

Angkasa Review: Tempo hari muncul berita PTDI masih butuh tambahan dana Rp81,8 miliar untuk proses mendapatkan sertifikasi N219. Apakah betul?

Elfien Goentoro: Soal dana sudah solved semua, tidak ada masalah. Jadi, sebagian itu didanai oleh LAPAN, sebagian lagi didanai oleh PTDI sendiri. Itu yang terjadi. Kan ini dibangun tahun 2014, yang 2017 kemarin itu ada cost of flying dan segala macam. Tentunya kan namanya development itu belum tentu exactly (persis) selesai tepat waktu. Dari situlah ada adjustment dari investasi kebutuhan dana. Jadi sudah solved, sudah selesai. Bappenas sudah oke, tinggal nanti administrasinya saja. Dari Kemenristek juga sudah oke.

Angkasa Review: Untuk sertifikasi N219 targetnya memang harus selesai tahun ini ya, bagaimana bila meleset?

Elfien Goentoro: Sertifikasi harus selesai tahun ini. Itu kalaupun terlambat (uangnya) kami bisa menyelesaikan sendiri. Dari dana PTDI bisa meng-cover duluan. Yang penting target tidak akan berubah.

Dok PTDI

Angkasa Review: Untuk N219 ini sudah ada pesanan resmi? Bagaimana dengan target pengirimannya?

Elfien Goentoro: Sudah ada pesanan, yang sudah pasti target delivery buat PT Pelita Air Service. Sudah ditandatangani, beli dua opsinya 20. Gubernur Kaltara juga mau pesan, opsinya dua, terus satu, tambah satu lagi. Terus Bupati Puncak Jaya, Papua. Itu target untuk delivery-nya. Memang belum final contract, karena masih butuh waktu untuk menuliskan berapa. Targetnya Maret paling lambat, Juni harus sudah mulai.

Angkasa Review: Berapa target produksi N219 per tahun?

Untuk tahap awal itu tahun 2019, karena memang kita baru selesai TC, sehingga, kita menyiapkan final manufacturing dan segala macam. Kita baru bisa empat targetnya untuk tahun depan. Nah untuk selanjutnya kita akan tingkatkan lagi. Kita targetkan setelah tiga tahun nanti paling tidak tiga sampai empat pesawat sebulan, bukan per tahun. Ini yang akan menjadi target kita.

Angkasa Review: Apakah secara pararel dengan hal itu PTDI juga menyiapkan rancangan N219 varian amfibi?

Elfien Goentoro: Tahun ini mulai dilakukan kajian untuk amfibi. Kita bekerja sama dengan LAPAN untuk melakukan hal itu tahun ini. Karena memang, kami juga dapat permintaan dari beberapa kementerian seperti pariwisata, kemaritiman, bahwa sea plane harus segera dibentuk sama kita. Kita segera mendesain float supaya bisa amfibi.

Angkasa Review: Apakah ada kesulitan dalam desain float?

Fery Setiawan

Gita Amperiawan: Secara teknis sebetulnya kita bisa mendesain float. Tapi sebaiknya kita bekerja sama dengan industri yang sudah memroduksi float secara proven. Maka di awal tahun ini bersama dengan LAPAN kita akan mencari siapa partner kita. Yang sudah kelihatan cocok, sudah memroduksi pesawat tersebut. Ini sebetulnya adalah supaya kita dalam melakukan penyusunan kajian dan sebagainya bisa didasarkan kepada perusahaan yang sudah proven. Sudah ada beberapa nama, sedang kita coba jajaki. Antara lain dari Kanada dan Amerika Serikat.

Irzal Rinaldi Zailani: Banyak peluang, tinggal kita bisa speed up sama capability kita enggak require dengan waktu cepat. Secara prinsip PTDI siap untuk melaksanakan itu.

Angkasa Review: Bicara soal pesawat amfibi, tempo hari ada penawaran pesawat Beriev dari Rusia kepada Indonesia. Bagaimana PTDI melihat hal ini?

Gita Amperiawan: Kalau Beriev kan masih dalam perencanaan. Kalau dalam perencanaan kami, kami sudah bilang apabila pesawat ini (Be-200) dibeli, berarti teknologi amphibious-nya akan kami butuhkan. PTDI sudah prepare hal itu, namun PTDI kan tidak bisa relay-on itu saja, karena tadi Pak Dirut sampaikan kita sudah ditunggu dan tahun ini kita sudah rencanakan (buat rancangan amfibi). Maka, sekarang kita sudah mulai mencari partner strategis. Nanti itu bisa saja menjadi complementary dari teknologi yang kita butuhkan. Tapi kita sudah mulai dari sekarang kajian untuk masalah amfibi.

Irzal Rinaldi Zailani: Harus kita matangkan kajian kita, kebutuhan kita, juga keuntungan atau apa yang diperoleh PTDI dan Indonesia terhadap pengembangan pesawat ini. Dengan negara manapun kita tidak alergi untuk melakukan kerja sama. Mana yang lebih menguntungkan buat negara, dia yang kita utamakan.

Angkasa Review: Ini sekaligus menepis dugaan bahwa PTDI hanya bekerja sama dengan Airbus?

Gita Amperiawan: Dengan Airbus kan kita sudah punya agreement. Agreement-nya kita maksimalkan. Nah, di situ kita implementasikan khususnya untuk membangun kompetensi PTDI. Misalnya sekarang yang mau ditandatangani masalah service center, ya sudah kita kembangkan itu. Supaya, semua produk yang di-delivery oleh PTDI ini kita bisa memberikan full support kepada customer.

Fery Setiawan

Irzal Rinaldi Zailani: Kerja sama kita dengan Airbus itu besar. Dan memang, di bidang pesawat, helikopter, kita semua sampai ke delivery center, ke product support. Jadi, apakah musti yang lain-lain? Ya tergantung situasinya, kondisi opportunity-nya. Ya kita harus cari yang the best. Memang kelihatan sekarang ini sepertinya posisi Airbus yang paling banyak. Ya memang, karena kebutuhan dan kebetulan baik dari sisi negara, kebutuhan customer sama kebutuhan di PTDI. Kalau nanti sea plane misalnya, bukan dengan Airbus, dengan yang lain kalau lebih baik ya diutamakan.

Angkasa Review: Lalu bagaimana dengan wacana N245 yang sudah bergulir ke publik?

Elfien Goentoro: Untuk N245 startnya kita tunggu N219 dulu. Konsentrasi ke N219 dulu. Tentunya kita serius, cuma kan kita lebih baik itu (N219) dulu lah. Kalau hanya kajian, basic research itu oke lah.

Gita Amperiawan: Bagaimana PTDI berhasil dalam komersialisasi, tahun 2019 kan kita harus buktikan.

Angkasa Review: Mengenai perkembangan pesawat MPA bagaimana Pak?

Elfein Goentoro: MPA untuk TNI AL sudah kita serahkan satu, kalau yang untuk TNI AU sebetulnya pesawatnya sudah jadi, cuma ada satu peralatan yang kena export license. Masih tunggu lisence dari Amerika. Tapi tidak ada restriksi bagi Indonesia, hanya butuh waktu saja.

Angkasa Review: Apa yang diharapkan PTDI dari Pemerintah?

Elfien Goentoro: Harapan kami terhadap pemerintah, ya memang bahwa apabila kita sudah bisa menghasilkan suatu produk, ya tentunya harus dipakai. Tentunya yang bisa mengembangkan industri pertahanan atau industri strategis ataupun high tech itu ya harus di-cover. Terus yang paling penting adalah environment, tentunya seperti adanya Undang-undang Nomor 16/2012 Tentang Industri Pertahanan. Undang-undang Nomor 12 itu sangat mendukung. Mungkin Undang-undang akan lebih bagus lagi kalau diturunkan dengan PP atau Perpresnya. Itu akan jauh lebih mantap lagi.

Angkasa Review: Ada lagi yang lain?

Elfien Goentoro: Terus juga mungkin masalah perpajakan, nah kalau kita beli dari luar kan masih ada komponen kena pajak dalam rangka impor (PDRI). Mudah-mudahan ini bisa menjadi bagian dari dukungan ke kita supaya biaya masuk PPnBM (PDRI) itu kalau bisa hilang. Sama AOC bisa lebih kompetitif lagi.

Roni Sontani

Angkasa Review: Bisa disampaikan Pak, bagaiamana kondisi keuangan PTDI saat ini?

Elfien Goentoro: Jadi tahun lalu itu PTDI masih rugi 20-an juta dolar AS. Laporan yang belum diaudit, tahun ini kita untung 5,4 juta dolar AS dengan penjualan mencapai  423 juta dolar. Tahun lalu itu penjualan 317 juta dolar, jadi ada peningkatan yang cukup signifikan (30%) dari penjualan. Laba-ruginya, dari minus 20-an juta sampai positif 5,4 juta.

Angkasa Review: Bagaimana PTDI bisa mencapai hal itu?

Elfien Goentoro: Jadi memang ada beberapa langkah kita lakukan. Yang pertama, kita lakukan bagaimana mengubah pola pikir bahwa kita itu industri dirgantara yang ujungnya memang harus bisa men-deliver produk ke customer dan kita bisa melayani pelanggan sebagaimana produk itu harus dijalankan. Jadi, kita bukan hanya sebagai perusahaan yang hanya bisa membuat pesawat untuk terbang. Kita harus bisa men-deliver sebagaimana industri dirgantara, industri pesawat terbang.

Yang kedua, kita melakukan efisiensi terhadap beberapa aspek. Utamanya adalah di bidang material-logistik. Yang ketiga, kita juga melakukan beberapa perbaikan (improvement) khusus bisnis. Tentunya ujungnya adalah organisasi. Beberapa fungsi-fungsi kita utamakan kita menjadikan target-target supaya mendapatkan keuntungan.

Contohnya saja MRO, kita sudah men-deliver 425 pesawat yang terdiri dari fixed wing dan rotary wing. Tapi kita baru bisa melayani maintenance 20% dari pesawat-pesawat itu. Lho, kita yang delivery, kita yang membuat, kenapa kok cuma segitu? Tahun ini kita targetkan minimal 50% harus bisa kita maintenance, oleh PTDI.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *