AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Nama Bronco pastinya tak asing buat penggemar dunia militer di Tanah Air. Pesawat rancangan Rockwell International (kini Boeing) ini memang menjadi tulang punggung TNI AU menghadapi GPK bersenjata di Indonesia pada 1976-2003.
Menilik sejarahnya, Bronco (Si Kuda Liar) diciptakan sebagai pesawat COIN (COunter-INsurgency). Pesawat ini digunakan untuk berperang menghadapi para pejuang/gerilyawan Vietnam. Kala itu, pesawat dengan kode resmi OV-10 ini digunakan oleh Korps Marinir (USMC) dan Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF).
Usai perang Vietnam, OV-10 diekspor ke beberapa negara. Di antaranya ke Thailand (OV-10C), Venezuela (OV-10E), dan Indonesia dengan seri terakhir OV-10F.
Memasuki pergantian abad, keberadaan Bronco mulai tersisih dengan hadirnya pesawat serang ringan berbasis pesawat latih turboprop. Di antaranya adalah EMB-314 Super Tucano dari Brasil dan KAI KA-1 dari Korea Selatan.
Kemudian memasuki era milenium, USAF melihat kebutuhan pesawat serang ringan guna menghadapi perang asimetris dengan biaya operasional rendah. Tidak seperti A-10 Thunderbolt II atau F-16 Fighting Falcon yang mahal.
Selanjutnya USAF pun melansir proyek Light Attack/Armed Reconnaissance (LAAR) yang dikuti oleh empat kontestan, yakni T-6B Texan ll, EMB-314 Super Tucano, A-67 Dragon, dan OV-10X Super Bronco.
Nah, pada 2009 Boeing berencana menghidupkan lagi lini produksi Bronco dengan menawarkan OV-10X yang telah menggunakan mesin turboprop generasi akhir.
Super Bronco juga akan dibekali glass cockpit terkomputerisasi, sensor intelijen, dan kemampuan menjatuhkan bom pintar.
Sayangnya proposal Boeing harus tersingkir. Keluar sebagai finalis proyek LAAR jatuh pada T-6B racikan Textron dan EMB-314 kerjasama Embraer dan Sierra Nevada.
Melihat pasar pesawat serang ringan berawak masih terbuka lebar, Paramount dari Afrika Selatan mencoba peruntungan mengembangkan pesawat bernama AHRLAC (Advanced High Performance Reconnaissance Light Aircraft).
Khusus untuk pasar AS, Paramount membentuk perusahaan BCS (Bronco Combat Systems) dengan menawarkan pesawat yang mendapatkan julukan sebagai Bronco II.
Pada Mei 2020, Paramount dan Leidos perusahaan AS bakal memasok 75 Bronco II untuk kebutuhan USSOCOM, produksinya akan dilaksanakan oleh Vertex Aerospace, AS.
Selain dua produk tersebut, sosok sang kuda liar Bronco juga mengilhami dua perusahaan lain untuk memproduksi pesawat serang ringan dengan konfigurasi yang serupa.
Pertama datang dari Akaer, Brasil yang sebelumnya dikenal sebagai produsen komponen pesawat. Pesawat rancangannya yang dinamai Mosquito ini diperkenalkan pertama kali kepada publik dalam gelaran LAAD bulan April 2019 di Rio Janeiro, Brasil.
Perusahaan mengatakan, Mosquito akan mengusung sepasang mesin sekelas PWC PT-6A dengan lama terbang hingga 10 jam. Pesawat berawak dua ini kabinnya telah bertekanan udara.
Pesawat kedua datang dari Kanada yang ditawarkan oleh perusahaan Icarus Aerospace pada 11 Agustus 2020.
Proyek pesawat bertajuk TAV (Tactical Air Vehicle) Wasp ini canggihnya dapat dioperasikan oleh pilot atau tanpa pilot layaknya UCAV.
Wasp dibekali avionik terbaru dengan sensor gabungan dan radar AESA (active electronically scanned array). Mantapnya, pesawat juga mengadopsi perangkat pengisian bahan bakar di udara.
Pesawat berekor model gawang ini akan dipasangi sepasang mesin turboprop dengan kisaran daya 1.700 shp serta durasi terbang selama 6,5 jam.
Namun dari keempat pesawat di atas, baru Paramount Bronco II yang tersedia di pasar. Boeing OV-10X sendiri programnya tak dilanjutkan, sementara Mosquito dan Wasp masih sebatas konsep.
Rangga Baswara Sawiyya
Wasp bisa jadi the next Bronco II beneran sih, dari desainnya yg mirip dan lebih Sleek.