Bandara IKN Baru, kendaraan EV, dan tantangan Litbang di Indonesia

Bandara APT Pranoto Samarinda_airspace-review_1Kaltimpost

AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Pemerintah telah menetapkan sebagian wilayah di Kabupaten Penajam Paser Utama dan sebagian wilayah di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia yang baru.

Proses pembangunan pun mulai dikebut dengan target relokasi ibu kota dari Jakarta ke IKN yang baru pada 2024.

Sejumlah infrastruktur mulai dibangun mengacu pada desain hasil kolaborasi dari tiga pemenang sayembara desain IKN.

Salah satu yang diusulkan dalam perencanaan ini, adalah dibangunnya bandara baru guna mendukung dua bandara yang sudah ada, yaitu Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sepinggan, Balikpapan (IATA: BPN) dan Bandara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto (IATA: AAP) di Samarinda.

Dalam master plan IKN disebutkan, bandara baru akan berlokasi pada lokasi jam 10.30 dari pusat IKN dengan radius maksimal 20 km.

Saat ini pihak pengembang baru membuat konsep desain dan filosofi dasarnya.

Mantan Dirjen Perhubungan Udara tahun 2017-2018 Agus Santoso yang kini adalah Widyaiswara Ahli Utama di Kementerian Perhubungan mengatakan, bandara baru IKN akan mendukung dua bandara yang sudah ada saat ini.

Dikatakan, keberadaan multiple airport lazim di kota-kota besar dunia. “Seperti di Paris ada Bandara Internasional Charles de Gaulle, Bandara Internasional Orly, dan Paris-Le Bourget Airport,” ujar Agus dalam pelaksanaan Sidang Komisi Transportasi Udara Rakor Penelitian Perhubungan 2020 di Jakarta, Kamis (27/2).

Sidang dipimpin oleh Kapuslitbang Transportasi Udara Balitbang Pehubungan Kemenhub Capt. Novyanto Widadi, S.AP, M.M.

Sebelumnya, di hari yang sama Rakor Penelitian Perhubungan 2020 Kementerian Perhubungan dibuka oleh Kabalitbang Perhubungan Kemenhub Ir. Umiyatun Hayati Triastuti, M.SC.

Rakor Penelitian Perhubungan 2020
Roni Sontani/AR

Agus menyarankan agar Balitbang Kemenhub memberikan sejumlah alternatif.

“Misalnya, bandara baru ini nantinya akan menjadi bandara privat, untuk General Aviation, VVIP, dan sebagainya,” ujarnya.

Namun yang pasti, bahwa di lokasi jam 10.30 yang akan dibuat bandara tersebut tadi, harus dikontrol jarak bangunan dan ketinggian bangunan yang akan dikembangkan sebagai IKN. Yaitu sejuah 15 km dan tidak lebih tinggi dari 150 meter.

“Ini perlu dimasukkan parameter-parameter ini sehingga nanti pembangunan kota sudah menyiapkan diri dengan ketinggian lay out, land use, dan sebagainya.”

Perlu juga diperhatikan, lanjut Agus, tanah di tempat tersebut merupakan lahan gambut. Untuk membangun bandara perlu ada batu-batu yang keras.

“Pengalaman membangun bandara di Samarinda, itu tanggulnya saja sampai ketinggian 30 meter,” jelas Agus.

Namun, bagaimana pun, lanjut dia, IKN sudah ditetapkan dan tugas Kementerian Perhubungan mendukung pelaksanaan pembangunannya.

Agus juga menyoroti bahwa di sekitar Balipapan terdapat pulau-pulau kecil yang dapat menjadi potensi tumbuhnya industri pesawat terbang dalam negeri. Karena, ujarnya, pulau-pulau tersebut nantinya bakal banyak dikunjungi karena dekat dengan IKN.

Pulau-pulau tersebut akan menjadi feeder untuk penerbangan perintis, penerbangan wisata, dan lainnya yang membutuhkan pesawat seklas N219.

“Untuk yang medium range, bisa didukung menggunakan CN235 karena pesawat ini sudah certified dan tinggal melakukan produksi saja.”

Agus Santoso
Rachmat Kartakusuma/AR

Terakhir, Agus menyoroti masalah energi masa depan yang dibutuhkan oleh kendaraan-kendaraan ramah lingkungan.

Dikatakan bahwa di IKN akan digunakan Enviromental Vehicle yang menggunakan tenaga baterai litium sebagai sumber penggerak.

Baterai ini juga menjadi kebutuhan tipe-tipe pesawat listrik di masa depan. Sementara bahan baku dari baterai ion litium ini, kata Agus, di antaranya adalah bijih nikel (nickle ore) yang terdapat melimpah ruah di kawasan Sulawesi.

Ditandaskan Agus, Indonesia bisa menjadi produsen tidak hanya bahan mentah untuk baterai litium, melainkan juga produsen bahan jadi.

“Nah ini perlu riset. Kalau Badan Litbang mau eksis, maka Balitbang harus melakukan riset mengenai baterai ini,” pungkas Agus.

Roni Sontani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *