Mengikuti latihan terbang formasi pesawat C-130 Hercules Skadron Udara 31

Latihan Terbang Formasi A-1314_roni sontaniRoni Sontani

AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Dua pesawat C-130 Hercules dengan tipe L-100-30 (A-1314 dan A-1326) Skadron Udara 31 sudah disiapkan di tempatnya parkirnya di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Penerbangan hari itu, Rabu, 22 Januari 2020, akan dilaksanakan untuk melakukan latihan terbang formasi sekaligus profisiensi bagi para penerbang pesawat C-130 Hercules Skadron “Rajawali” ini.

Sebelum terbang para penerbang berikut kru pesawat yang berjumlah kurang lebih masing-masing 13 orang ini melakukan briefing dengan menggelar peta. Penerbangan kali ini akan dilaksanakan untuk mengarungi rute ke wilayah utara di sekitar Karawang, Pamanukan, Eretan Wetan, Kertajati, Kalijati, dan kembali ke Jakarta. Penerbangan latihan akan dilaksanakan dalam waktu kurang lebih dua jam.

Komandan Skadron Udara 31 Letkol Pnb Puguh Yulianto memimpin penerbangan di pesawat A-1314, sementara Letkol Pnb Teddy di pesawat A-1326. Kedua penerbang lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 2000 dan 2001 ini sudah mengantongi 5.000-an jam terbang di pesawat angkut yang tangguh buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat ini.

Sebelum penerbangan dilaksanakan, doa pun dipanjatkan agar diberi keselamatan dalam melaksanakan kegiatan hari itu.

Letkol Puguh mengatakan, latihan formasi dilaksanakan untuk melatih kesiapan para awak pesawat agar pada saat mendapat perintah melakukan misi yang melibatkan pasukan dalam jumlah banyak itu, para penerbang beserta krunya sudah siap semua.

Seperti kita ketahui, pesawat C-130 Hercules sejak awal digunakan TNI AU tahun 1960 disiapkan untuk mendukung pergeseran pasukan maupun logistik via udara.

Briefing sebelum terbang C-130
Roni Sontani

Dalam hal mendukung penerjunan pasukan ke medan pertempuran, pesawat C-130 Hercules akan melakukan penerbangan rendah (low altitude) jelang masuk ke daerah penerjunan. Hal ini selain untuk menghindari tangkapan radar musuh, juga untuk melepas pasukan darat yang akan bertempur dari ketinggian yang pas dengan spesifikasi parasut yang mereka gunakan.

Untuk pelaksanaan suatu operasi udara, pesawat jelas harus dalam kondisi siap digunakan. Pesawat disiapkan oleh para personel teknik yang terlibat dalam pemeliharaan dan penyiapan pesawat setiap harinya.

Demikian juga untuk para penerbang dan kru pesawat, dituntut kesiapan yang prima sebelum pelaksanaan misi. Oleh karena itu, latihan memang mutlak harus dilaksanakan.

“Latihan formasi dilaksanakan dengan jumlah pesawat yang beragam dan minimal dua unit,” ujar Puguh.

“Terakhir kami melaksanakan penerbangan formasi terbanyak itu menggunakan 14 pesawat Hercules pada saat HUT TNI di Surabaya. Kemudian pada waktu pelaksanaan Latihan Gabungan TNI tahun lalu menggunakan tujuh pesawat,” lanjutnya.

Operasi Seroja 1975

Penerbangan formasi “Rajawali Flight” telah lama dilaksanakan di TNI AU dan menjadi salah satu kemampuan yang dimiliki oleh para penerbang pesawat C-130 Hercules “Swa Bhuwana Paksa” ini.

Pada 7 Desember 1975 misalnya, formasi “Rajawali Flight” yang melibatkan sembilan pesawat C-130 Hercules Skadron 31/Angkut Berat TNI AU dilaksanakan dalam operasi lintas udara bersandi “Operasi Seroja” di Dilli, Timor Timur (kini Timor Leste).

Sembilan pesawat dengan lebih 90-an awaknya kala itu, bergerak dari Lanud Halim Perdanakusuma menuju Timor Timur dengan transit di Lanud Iswahudi, Madiun. Tiga pesawat di antaranya mengangkut para prajurit Kopassandha (Kopassus).

Tanggal 6 Desember, pukul 23.50 WIB, Flight Leader Letkol Udara Suakadirul memimpin operasi dengan menerbangkan pesawat C-130 T-1308. Berturut-turut dalam kepekatan malam itu, pesawat terbang meninggalkan Lanud Iswahjudi.

Pesawat bergerak ke arah Ponorogo menuju Timor Timur dalam bentuk formasi “Arrow”. Pesawat mengudara pada ketinggian 22.000 kaki dengan kecepatan terbang di angka 280 knot.

Pada poin yang telah ditentukan, formasi “Rajawali Flight” menurunkan ketinggian hingga terbang di angka 5.000 kaki di atas Atauro. Pesawat terus bergerak dan menurunkan ketinggian lagi hingga berada pada posisi 300 kaki di atas permukaan dengan kecepatan terbang 130 knot.

Penerbangan Formasi A-1326 dan A-1314
Roni Sontani

Mendekati Pantai Dilli dengan referensi Tanjung Fatukama, “Rajawali Flight” berbelok ke kanan dan langsung menuju jantung kota Dilli. Sembilan pesawat kemudian muncul dari balik perbukitan yang tanpa perlindungan pesawat bersenjata seperti B-26 maupun C-47 gunship.  

Tepat pukul 05.45 WITA pada 7 Desember, lampu merah di pesawat telah berubah menjadi lampu hijau yang menandakan dimulainya penerjunan.

Dengan ketinggian pesawat pada 1.250 kaki di atas permukaan tanah, ratusan penerjun TNI menggunakan parasut T-10 dikeluarkan dari sebilan perut C-130 Hercules Skadron 31/Angkut Berat. Pesawat tetap membentuk formasi “Arrow” masing-masing sejauh 300 kaki dan perbedaan ketinggian pesawat 50 kaki. (Skadron Udara 31, Hercules Sang Penjelajah, 2004).

3.000 kaki ke bawah

Bicara soal dropping pasukan, Puguh menerangkan, intinya adalah pada ketinggian rendah. Dalam terminologi ini kita bicara ketinggian 3.000 kaki ke bawah.

“Kalau seumpama kita mendekati area pertempuran, berarti kita harus terbang menghindari tangkapan radar. Maka dari itu kita terbang rendah, terbang dari lembah ke lembah,” jelasnya.

Akan tetapi, lanjut dia, pada saat terbang feri dari pangkalan udara menuju daerah pertempuran, penerbangan dilaksanakan pada high altitude.

“Saat mau masuk ke daerah pertempuran baru kita terbang rendah.”

Penerjunan taktis rata-rata dilaksanakan pada ketinggian 900 kaki. Sementara untuk latihan penerjunan biasa dilakukan dari ketinggian 1.500 kaki AGL (above ground level) – ketinggian di atas permukaan tanah.

Untuk pesawat C-130 tipe long seperti C-130H/HS dan L-100-30, kata Puguh, pesawat dapat membawa 92 personel penerjun bersenjata lengkap. Sementara untuk tipe short yaitu C-130B, kapasitas bawa penerjun hanya 64 orang saja.

Hercules A-1326 difoto dari A-1314
Roni Sontani

Dalam latihan penerbangan formasi di skadron, pesawat tidak membawa personel penerjun. Hal itu akan dilaksanakan pada saat mendukung latihan penerjunan pasukan di satuan-satuan terkait. Misalnya, penerjunan di Markas Komando Korps Pasukan Khas (Korpaskhas) di Lanud Sulaiman, Bandung maupun di lanud-lanud lain yang melaksanakan latihan penerjunan untuk satuan-satuan TNI.

Dalam latihan terbang formasi, kurang lebih 11 hingga 13 orang mengawaki masing-masing pesawat C-130. Mereka terdiri dari Captain Pilot (Pilot in Command), Kopilot dua orang, Navigator dua orang, Juru Montir Udara (JMU) tiga orang, Juru Muat Udara atu Load Master (LM) dua orang, dan bagian Radio Telephony (RT) satu orang.

“Pada saat penerjunan taktis, personel akan ditambah lagi dengan Jumping Master sebanyak tujuh orang,” lanjut Puguh.

Siang dan malam hari

Apakah latihan penerbangan formasi ini hanya dilakukan pada siang hari saja? Latihan terbang formasi, jawab Letkol Puguh, dilaksanakan pada siang maupun malam hari. Hanya saja, peralatan pendukung untuk latihan terbang formasi pada malam hari memang masih terbatas.

Di luar negeri, latihan terbang malam umumnya dilakukan dengan menggunakan perangkat Night Vision Goggles (NVG). “Sementara di kita masih mengandalkan lampu-lampu pesawat,” jelasnya.

Airspace Review di kokpit A-1314
Roni Sontani

Diakui, memang terdapat berbagai keterbatasan bagi kru kokpit untuk terbang formasi malam hari dengan hanya mengandalkan patokan dari lampu-lampu pesawat yang berada di depan. Faktor cuaca akan sangat ikut mempengaruhi pandangan mata. Terlebih pada malam hari.

Selain itu, lampu pesawat pada dasarnya tidak bisa dijadikan patokan untuk melaksanakan operasi pada malam hari. Karena, pada saat masuk ke daerah musuh lampu-lampu itu justru harus dimatikan agar tidak terlihat. Di sinilah perangkat bantu seperti NVG sangat dibutuhkan oleh para kru pesawat.

Meski demikian, latihan terbang formasi baik siang maupun malam hari, menjadi agenda latihan wajib alias harus dilaksanakan untuk melatih para awak pesawat C-130 Hercules TNI AU. Setiap enam bulan, minimum latihan ini dilaksanakan satu kali. “Lebih sering lebih baik.”

Penggunaan NVG, tentu harus disesuaikan dengan sistem di kokpit pesawat. Di sini pula bahwa pembelian NVG juga harus satu paket dengan kelengkapan yang harus terintegrasi dengan pesawatnya.

15-100 jam terbang per bulan

Dengan kesibukan yang tinggi dalam mendukung berbagai misi penerbangan, baik itu dukungan penerbangan reguler maupun misi-misi dadakan seperti dukungan penanggulangan bencana, penerbangan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), dukungan pengiriman logistik, dan lain-lain, Skadron Udara 31 dituntut mampu memanfaatkan waktu-waktu kosong untuk melaksanakan latihan terbang formasi ini. Hal ini pun harus disesuaikan dengan kesiapan pesawat, berapa yang tersedia, demikian juga dengan para instruktur, penerbang, dan awak lainnya.

Penerbangan formasi dilakukan dengan kecepatan terbang di kisaran angkat 200-210 knot. Tergantung menggunakan tipe pesawat yang mana dan dengan tipe yang mana. Misal campuran tipe long dan short, akan disesuaikan kecepatannya.

Hercules A-1326 dari A-1314
Roni Sontani

Di Skadron Udara 31 saat ini terdapat 18 orang penerbang termasuk tujuh orang instruktur. Apabila ditambah penerbang yang berdinas di luar skadron, jumlahnya mencapai 20 orang.

Dalam hal perolehan jam terbang, Komandan Skaron Udara 31 menjelaskan, setiap penerbang dalam satu bulan minimal harus mengumpulkan 15 jam terbang. Kurang dari itu, maka dia harus melakukan proficiency check lagi.

Di Skadron Udara 31 saat ini rata-rata penerbang dapat mengumpulkan 50 jam terbang dalam satu bulan. Sementara untuk yang instruktur bisa 100 jam terbang per bulan.

“Maksimal 100 jam terbang sebulan. Lebih dari itu saya setop agar para penerbang tidak kelelahan,” pungkas Puguh yang hampir setahun menjabat komandan skadron ini. Ia dilantik menjabat Komandan Skadron Udara 31 pada 12 April 2019.

Kesiapan fisik

L-100-30 A-1314
Rachmat Kartakusuma

Dalam keseharian melaksanakan penerbangan dengan berbagai misi, baik latihan maupun operasi, kesiapan fisik para awak pesawat jelas sangat dibutuhkan. Penerbangan pesawat militier, sekalipun pesawat angkut, merupakan penerbangan taktis. Artinya, pesawat harus terbang rendah pada saat menjalankan misi-misi tertentu. Manuver pun dilaksanakan yang artinya cukup memberikan efek-efek gravitasi kepada para awak pesawat.

Seperti dalam latihan penerbangan formasi yang diikuti tim dari Penerangan Pasukan (Penpas) Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau) ini. Tim Penpas yang dipimpin oleh Letkol Pnb Ali Sudibyo sekaligus melaksanakan pemotretan pesawat C-130 Hercules untuk Cover Majalah Suara Angkasa TNI Angkatan Udara. Pemotretan dilaksanakan dengan memanfaatkan slot latihan terbang formasi Skadron Udara 31.

Tim fotografi berada di pesawat A-1326 dengan ramp door pesawat dibuka saat setelah mengudara dan jelang berada di spot pemotretan. Tim dari Dispenau yang ikut dalam penerbangan ini terdiri dari Letkol Pnb Ali Sudibyo, Serda Ani, Sandriani Permani, dan Rachmat Kartakusuma.

Letkol pnb Ali Sudibyo dan Tim Penpas
Roni Sontani

Sementara A-1314 yang menjadi objek fotografi melaksanakan sejumlah manuver di berbagai spot-spot yang telah direncanakan.

Penulis yang mengikuti penerbangan di pesawat objek fotografi A-1314, cukup merasakan tarikan gravitasi antara 2-3 G. Hal ini karena pesawat melakukan sejumlah manuver, berbeda dengan kondisi pesawat di depan (A-1326) yang relatif ‘lebih tenang’ pergerakannya.

Meski demikian, namanya penerbangan formasi di ketinggian 1.000-1.500 kaki selama kurang lebih dua jam cukup membuat badan berolah raga sedikit di hari itu.

kru Hercules Skadron Udara 31
Rachmat Kartakusuma

Penerbangan dan kesempatan yang berharga, kembali bisa merasakan latihan terbang formasi yang 15 tahun lalu pernah penulis rasakan pertama kali menggunakan empat pesawat C-130 Hercules Skadron Udara 31 ini.

Terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam terlaksananya penerbangan ini.

Roni Sontani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *