Mengenai Industri Kedirgantaraan Jepang (5)
AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia Il turut menggulung industri kedirgantaraannya. Berdasarkan Deklarasi Potsdam Juli 1954, negara Matahari Terbit tersebut dilarang terlibat dalam produksi pesawat terbang, serta berbagai produk lain yang dapat digunakan untuk mempersenjatai kembali militernya.
Pembatasan ini memang tak berlangsung lama. Dengan terjadinya Perang Korea dan munculnya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, membuka kemungkinan bagi perusahaan Jepang untuk memproduksi pesawat kembali.
Namun tak semua produsen pesawat bisa bangkit lagi, beberapa di antaranya bahkan harus terkubur selamanya.
Mereka adalah Aichi Kokuki, Daiichi Kosho Company, Hiro Naval Arsenal, Itoh Aircraft, Kyushu Hikoki, Manchuria Airplane dan Tachikawa Aircraft Company.
Perusahaan yang bisa terus bertahan dan kini menjadi besar adalah Kawasaki Aerospace Company (KHI), Mitsubishi Aircraft Corporation (MHI), ShinMaywa (sebelumnya Kawanishi Aircraft Company), Subaru Corporation (sebelumnya Nakajima Aircraft), dan Showa Aircraft Industry.
Pada masa awal kebangkitan tersebut, pemerintah Jepang kembali mengorganisir dan merestrukturisasi perusahaan yang ada. Termasuk membentuk wadah baru sebagai produsen pesawat baru bernama Nihon Aircraft Manufacturing Corporation (NAMC) pada April 1957.
NAMC merupakan gabungan dari perusahaan Mitsubishi Heavy Industries, Fuji Heavy Industries, Shinmeiwa Manufacturing, Sumitomo, Nihon Kogata Hikoki, Showa Aircraft dan Kawasaki Heavy Industries.
DC-3 versi Jepang
Proyek petama yang ditugaskan pada NAMC adalah merancang dan membuat pesawat turboprop sipil asli Jepang untuk menggantikan pesawat angkut legendaris Douglas DC-3 versi Jepang yang jumlahnya cukup banyak.
Mengenai DC-3 versi Jepang ini dimulai ketika Nakajima memperoleh lisensi dari Douglas, Amerika Serikat tahun 1938 dikenal sebagai L2D.
Semula masih menggunakan mesin Pratt & Whitney SB3G, generasi selanjutnya hadir 1942 telah menggunakan mesin radial lokal Mitsubishi Kinsei 43.
Produksi L2D selanjutnya diserahkan kepada perusahaan baru Showa Aircraft Precision Works yang didirikan pada 1938.
Produksi Showa L2D dimulai dari 1942-1945 dengan total sebanyak 416 unit dibangun. Sementara pabrik Nakajima hanya memproduksi sebanyak 71 unit saja.
Proyek penerus L2D yang digarap oleh NAMC ini dikenal sebagai YS-11. Ini adalah pesawat komuter regional berawak dua dan mampu membawa 64 penumpang.
Sebagai kompetitornya masa itu adalah Vickers Viscount dari Inggris, Fokker F27 dari Belanda dan Martin 4-0-4 dari Amerika Serikat.
YS-11 berdimensi panjang 26,3 m, rentang sayap 32 m dan tinggi 8,9 m. Digerakan menggunakan dua mesin turboprop buatan Inggris Rolls-Royce Dart Mk.542-10K, masing-masing berdaya 2.250 kW. Kecepatan maksimumnya 546 km/jam, ketinggian terbang hingga 4.575 m serta jangkauan 2.110 km.
Dalam perjalanannya, YS-11 kurang dapat bersaing dipasaran internasional. Hanya 182 pesawat yang pernah dibuat dan tak mencapai titik impas. Pada 11 Mei 1973 pesawat YS-11 terakhir dikirim ke Pasukan Bela Diri Maritim Jepang (JMSDF).
Baca Juga: Mengenal industri kedirgantaraan Jepang (1): Fuji Heavy Industries (Subaru Corp.)
Kenyataan ini membuat ambisi konsorsium untuk memproduksi penerus YS-11 bertenaga jet (turbofan) tidak dapat terwujud. Dibebani banyak hutang, NAMC akhirnya dibubarkan pada 23 Maret 1983.
Proyek lain yang sempat digarap NAMC berkolaborasi bersama lembaga riset NAL (National Aerospace Laboratory) adalah pesawat eksperimental Quiet STOL Asuka berbasis pesawat angkut militer Kawasaki C-1.
Rangga Baswara Sawiyya