Mengenal Foot Launch dan Wheel Launch dalam olahraga Paramotor

Jenis paramotorRoni Sontani/AR

AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Tanggal 17 Agustus 2020 bertempat di Lanud Atang Sendjaja Bogor, Jawa Barat delapan penerbang paramotor dari komunitas Paramotor Indonesia, Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) berhasil menciptakan Rekor MURI “Pengibaran Bendera Merah Putih Tertinggi dengan Paramotor” pada ketinggian 2.020 meter dengan membentangkan Bendera Merah Putih sepanjang total 17 meter.

Dari kedelapan penerbang paramotor (paralayang bermotor) FASI tersebut, ada yang menggunakan paramotor jenis gendong di mana mesin digendong di punggung penerbang.

Sebelum terbang, setelah mesin dihidupkan dan parasut dikembangkan. Setelah parasut mengembang sempurna, pilot paralayang pun berlalu untuk kemudian mengudara. Jenis paramotor ini disebut dengan istilah foot launch.

Foot Launch Paramotor
Rangga Baswara Sawiyya/AR

Lalu yang kedua, adalah jenis paramotor yang menggunakan kendaraan beroda, sering disebut paratrike. Tidak perlu menggendong mesin, pilot tinggal duduk di kendaraan beroda tersebut. Setelah parasut dibentangkan di tanah dan mesin dihidupkan, pilot kemudian menarik tuas gas dan paratrike pun melaju di landasan. Dengan begitu parasut kemudian mengembang dan paramotor pun mengudara. Jenis paramotor ini dikenal dengan istilah wheel launch.

Paramotor Wheel Launch
Rangga Baswara Sawiyya/AR

Mesin paramotor meningkat

Ketua Paramotor Indonesia FASI, Cahyo Alkantana kepada Airspace Review menjelaskan, di dunia saat ini terjadi perubahan besar berkaitan dengan teknologi. Bila dulu mesin paramotor yang digunakan itu berkisar di kapasitas 80-250 cc, maka saat ini mesin-mesin untuk pesawat ultrlight berkapasitas 500-1.200 cc seperti Rotax 582 dan Rotax 912 pun dapat digunakan di paramotor.

“Nah, karena mesinnya besar, sekarang fungsional paramotor pun berubah. Yang dulu hanya terbang-terbang saja, sekarang dipakai umpamanya untuk tandem penerjun payung, dropping logistik, dan lainnya. Artinya, penggunaannya sekarang lebih luas,” kata pegiat beragam olahraga termasuk menyelam ini.

Dengan mesin yang lebih besar kapasitasnya, paramotor bisa membawa muatan 100-125 kg di luar berat pilot.

Dengan mesin yang powernya lebih besar, pilot paramotor pun bisa lebih leluasa terbangnya. Cahyo yang menggunakan paratrike dengan mesin Rotax bisa terbang hingga 4 jam.

“Yang saya itu kan Rotax 582, tangki bahan bakar 50 liter. Setiap jam konsumsi bahan bakar 12 liter,” ujarnya dalam obrolan di Lanud Atang Sendjaja, Bogor pada Senin, 17 Agustus 2020.

Soal bahan bakar, mesin paramotor menggunakan pertamax. “Untuk mesin kompresi rendah menggunakan pertamax, kalau mesin kompresi tinggi menggunakan pertamax turbo,” jelas Cahyo.

Sementara untuk perawatan mesin Rotax, tambahnya, tersedia pusat perawatan di Cibubur, Jakarta Timur. Namun demikian, banyak juga pilot yang sudah bisa merawat mesinnya sendiri berdasarkan petunjuk manual dari pabrikan. Misalnya setiap penggunaan 25 jam mengganti busi. Kemudian setelah penggunaan 50 jam dilakukan carbonize, dan seterusnya.

Sementara untuk baling-baling, umumnya cukup tahan asal tidak mengalami crash. Pengecekan secara reguler dilakukan untuk mengamati adanya crack atau tidak.

Harga paramotor sendiri, kata Cahyo beragam. Berkisar di angka 300-450 jutaan rupiah. Ada juga yang lebih mahal tergantung speknya. Umumnya paramotor dibeli dari luar negeri, namun sekarang di dalam negeri pun sudah ada yang bisa membuatnya.

Sementara untuk parasutnya sendiri berkisar di harga 40 jutaan rupiah ke atas.

Dibandingkan dengan paralayang, Cahyo mengakui, menggeluti paramotor memang membutuhkan dana yang lebih banyak.

Cahyo Alkantana, Ketua Paramotor Indonesia
Roni Sontani/AR Cahyo Alkantana, Ketua Paramotor Indonesia

“Kalau untuk paralayang kan kita fokus di parasut, harga mungkin sampai 100 juta. Tapi kalau di paramotor, parasut hanya salah satu komponen dari peralatannya. Masih ada mesin dan paratrike-nya,” ujar pria bertubuh tegap yang menggeluti paramotor sejak tahun 2005 ini.

Penggunaan parasut rata-rata untuk dua tahun. Dalam setiap minggunya, Cahyo beserta komunitas Paramotor Indonesia FASI biasa terbang kurang lebih dua jam pada hari Sabtu dan/atau minggu.

“Saya rata-rata terbang 2-3 jam. Seminggu rutin Sabtu dan Minggu atau salah satunya. Karena saya memang hobi terbang,” ujar pria yang mengawali hobi paramotor dengan jenis foot launch ini.

Target masuk PON

Cahyo mengatakan, bila orang awam yang ingin belajar paramotor bisa difasilitasi oleh instruktur-instruktur paramotor di FASI. Biaya kursus berkisar 12 jutaan rupiah. Pelaksanaan rata-rata dua minggu sampai siswa lulus first solo.

Cahyo berharap makin banyak orang yang tertarik dan menekuni paramotor, baik untuk hobi maupun prestasi.

Ditanya soal target, Cahyo ingin agar paramotor masuk dalam cabang olahraga dirgantara yang dipertandingkan di Pekan Olahraga Nasional (PON).

“Persyaratan-persyaratan sudah kita penuhi. Mudah-mudahan segera terealisasi,” harapnya.

Roni Sontani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *