AIRSPACE REVIEW (angkasareview.com) – Salah satu pemberitaan yang cukup hangat di bulan ini adalah penolakan Presiden Rusia Vladimir Putin atas keinginan Iran untuk membeli sistem pertahanan udara (sishanud) S-400 Triumf dari Rusia. Di waktu bersamaan, penolakan Amerika Serikat atas pembelian S-400 oleh Turki juga terus menguat, menimbulkan ketegangan baru yang berujung saling ngotot antara Washington dan Ankara.
S-400 telah muncul ke permukaan sebagai sistem persenjataan penentu, khususnya alutsista penghancur bermacam sasaran di udara dalam jarak yang cukup jauh, 400 km. Sishanud berpeluru kendali ini sangat ditakuti keberadaannya, bahkan oleh armada jet siluman seperti F-35 maupun F-22 sekalipun.
Bloomberg melaporkan, penolakan Putin atas keinginan Teheran membeli S-400, karena Moskow tidak ingin eskalasi ketegangan makin meningkat di kawasan teluk. Seperti kita tahu, saat ini hubungan Amerika Serikat (AS) dan Iran kembali memburuk bahkan kedua pihak saling melontarkan pernyataan untuk saling menyerang.
Presiden AS Donald Trump memberlakukan lebih banyak sanksi anti-Iran dan telah mengirim kapal induk USS Abraham Lincoln beserta gugus tugas tempurnya ke kawasan Teluk Persia, plus satu skadron pembom strategis B-52 Stratofortress dan sistem rudal penangkis, Patriot. AS juga menyatakan akan menambah 1.500 personel militernya ke kawasan tersebut.
AS menyebut, peningkatan kehadiran militernya di Timur Tengah adalah untuk merespons operasi serangan terbaru. Di antaranya adalah serangan roket Katyusha ke Zona Hijau di Bagdad di mana di sana terdapat Kedutaan AS (terbesar di dunia), serangan bom yang merusak empat kapal tanker di perairan dekat kawasan teluk, dan serangan drone oleh pemberontak Houthi di instalasi minyak Arab Saudi.
Kembali ke soal S-400, yang terbaru mengenai sishanud ini tentu saja adalah berita bahwa Rusia telah menyelesaikan pengiriman S-400 untuk resimen kedua Angkatan Roket PLA (PLA Rocket Force/PLARF). China sangat bahagia bisa memiliki S-400 yang diakuinya sebagai alutsista yang mengagumkan.
Setelah China dan kini Turki yang sedang menanti pengiriman S-400, India juga berminat akan membeli Triumf walau mendapat tentangan dari AS.
Iran dan Rusia, bila ditinjau dari hubungan politik dan militer kedua negara dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan suatu hubungan yang erat. Meskipun, perlu juga dicermati bahwa terbersit tanda-tanda Moskow berusaha untuk secara bertahap mengurangi jejak Iran di Timur Tengah. Beralasan juga, karena Rusia di sisi yang lain punya kepentingan hubungan dengan kekuatan regional lainnya seperti Arab Saudi dan Israel.
Ruslan Pukhov, Kepala Pusat Analisis Strategi dan Teknologi di Moskow seperti dikutip The Moscow Times mengatakan, setiap penguatan oleh Iran baik secara nyata maupun imajiner dapat menyebabkan eskalasi ketegangan.
Bila Rusia kali ini menolak permintaan Iran untuk membeli S-400, ujarnya, itu berarti Rusia masih punya kepentingan dengan Arab Saudi yang notabene merupakan negara kontra Iran.
Padahal, dua tahun lalu Arab Saudi juga telah menyatakan keinginannya untuk membeli S-400. Tidak hanya Arab Saudi, pada awal tahun ini Qatar yang kini menjadi seteru Arab Saudi juga menyatakan minat untuk membeli S-400. Bahkan, pembicaraan antara Doha dan Qatar terus diintensifkan.
Dengan kata lain, ada kepentingan-kepentingan strategis yang lain yang dipertimbangkan oleh Putin dalam hal penolakan penjualan S-400 ke Iran.
Aljazeera menulis mengapa kini banyak negara ingin membeli S-400, padahal pembelian S-400 tentu mengundang ancaman dari AS yang akan memberlakukan sanksi yang berat. Pembelian S-400 juga berpotensi merusak aliansi yang sudah terbangun lama.
Disebutkan dari hasil wawancara dengan sejumlah sumber, jawabannya adalah karena sistem pertahanan udara S-400 sangat canggih.
Kita berharap, hadirnya S-400 tidak menimbulkan ketegangan yang lebih buruk karena sistem persenjataan ini kalau dicermati sebenarnya dirancang untuk menjaga kedaulatan wilayah udara masing-masing negara dan bukan untuk menimbulkan perang. Sama halnya dengan sistem pertahanan udara lainnya yang telah digunakan oleh negara-negara maju/mampu.
Roni Sontani