ANGKASAREVIEW.COM – Bila ditarik mundur ke belakang, sebelum lahirnya senapan serbu kebanggaan nasional SS-1 (1984) dan SS-2 (2001), maka senapan serbu laras panjang atau assault rifle pertama buatan dalam negeri adalah senapan SP-1 (Senjata Panjang 1) yang merupakan modifikasi dari senapan serbu Beretta BM-59 Mk.1 buatan Italia.
SP-1 mengadopsi amunisi kaliber 7,62 x 51 mm dengan sistem operasi gas operated, rotating bolt. Menganut sistem bidik konvensional rear aperture dan front post. Panjang totalnya 109 cm dengan berat mencapai 4.4 kg.
Senapan laras panjang ini dipilih menjadi senapan serbu standar prajurit infanteri TNI pada masa itu. Dalam kurun waktu 1968 hingga 1974, PSM (Pabrik Senjata dan Mesiu, nama lama PT Pindad) telah memroduksi sebanyak 50.000 pucuk SP-1.
Pindad kemudian mengembangkan dan menyempurnakan lebih lanjut dengan melahirkan varian SP-2 yang bisa melepaskan rifle grenade dipasang di ujung larasnya. Lahir pula varian SP-3 yang menggunakan hand grip model baru plus dipasangi bipod penyetabil.
Ketika penetrasi awal Operasi Seroja tahun 1974-1975 dalam rangka penyatuan Timor Timur (kini Timor Leste) ke dalam naungan Republik NKRI, SP-1 sempat diturunkan dalam palagan tersebut.

Namun, banyak kendala yang ditemui selama beroperasi di lapangan. Di antara yang dikeluhkan para prajurit pemakainya adalah selongsong yang kadang tidak keluar, lalu ada picu yang copot hingga kompensatornya terlepas.
Dari pengalaman di lapangan tersebut, maka tercetuslah ide untuk mengembangkan senapan serbu baru yang lebih mumpuni pada 1976. Selang setahun kemudian lahirlah purwarupa yang diidamkan tersebut yang dinamai sebagai SS-77 (Senapan Serbu 1977).
Desain dan sistem kerja SS-77 mengacu pada senapan serbu Armalite AR18 dengan sistem mekanik gas operated, rotating bolt. Kapasitas peluru dalam magasen sebanyak 30 butir dengan kaliber 5,56 x 45 mm. Mode penembakan keduanya adalah Safe-Semi-Auto.

Selain versi standar dengan laras panjang, SS-77 juga dibuatkan dalam versi karabin (berlaras pendek) dengan popor model lipat. Tahun 1979, SS-77 dikembangkan lebih lanjut dengan menggunakan peluru kaliber 7,62 x 51 mm menjadi SS-79 (Senapan Serbu 1979).
Berdasarkan keberhasilkan pengembangan SS-77 dan SS-79 pihak TNI AD dan Hankam berniat mengadopsinya sebagai senapan standar infanteri TNI pengganti SP-1 seperti yang direncanakan sebelumnya.
Namun, berdasarkan pertimbangan yang dikeluarkan BPPT tahun 1982, bahwa untuk memroduksi sendiri senapan ini dari awal (dari nol) memerlukan waktu kurang lebih hingga delapan tahun lamanya dan biaya litbang yang dikembangkanpun terlalu tinggi.

Sebagai jalan pintas untuk menghemat biaya dan jangka waktu, BPPT pun mengusulkan untuk membuat lisensi senapan serbu yang sudah ada di pasaran yang sudah terbukti ketangguhan dan kehandalannya di lapangan.
Saat itu sebanyak enam jenis senapan serbu dievaluasi pada tahap pertama. Dari hasil uji coba yang dilakukan terpilih tiga calon kuat yakni HK33 buatan Jerman, M16A1 buatan Amerika Serikat dan FNC dari Belgia.
HK33 menjadi favorit utama, namun karena tidak menggunakan sistem mekanik gas operated melainkan sistem delayed blow back, teknologi yang rumit dan mahal, serta beberapa komponen terutama laras belum memungkinkan untuk dibuat di dalam negeri, akhirnya senapan ini batal dipiliih.

Sementara M16A yang menjadi kandidat kedua persyaratnnya terlalu ketat. Mulai dari peluru, komponen utama sistem mekanis dan laras yang harus diimpor langsung dari Amerika Serikat. Lalu penggunaan senjata untuk operasi militer harus seizin Konggres AS serta maksimal produksi dibatasi untuk 150.000 pucuk senapan saja. Senapan ini pun akhirnyta batal dipilih.
Akhirnya, diputuskan FNC (kandidat ketiga) menjadi pemenang dan kemudian dijadikan senapan serbu infanteri modern resmi yang digunakan seluruh kesatuan Tentara Nasional Indonesia.
Keputusan memilih senapan serbu FNC karena kemudahan yang diberikan prinsipal dalam hal ini FN Herstal SA dari Belgia yang bersedia memberikan alih teknologi hingga 100 persen.

Pertimbangan utama lainnya, karena senapan serbu FNC telah mengadopsi laras kisar 7 inci dengan peluru SS-109 yaitu pelor inti baja atau full metal jacket yang telah menjadi standar NATO.
Selanjutnya, atas kesepakatan yang dilakukan BPPT mewakili Pemerintah Indonesia dengan FN Herstal SA Belgia sebagai prinsipal pada Februari 1983, Pindad harus memroduksi sebanyak 200.000 pucuk senapan FNC sebagai syarat minimal. Setelah itu tidak perlu membayar royalti lagi pada pihak prinsipal.
Pada tahap awal assault rifle untuk TNI ini didatangkan langsung dari Belgia. Baru tahun 1984 setelah semua persiapan di jalur produksi beres, senapan serbu FNC mulai diproduksi di pabrik PT Pindad yang berlokasi di Kiara Condong, Bandung. Senapan serbu ini kemudian menyandang nama resmi SS-1 (Senapan Serbu 1).
RANGGA BASWARA SAWIYYA
Bismillah, berita baik dari PINDAD,semoga dengan produksinya PINDAD bisa memenuhi kebutuhan SS tersebut lebih banyak,tapi harus ada kombinasi ada juga buatan rusia,seperti Ak.12 dan Ak.15,Ak 308,dan Ak.47,T.5000 senapan runduk,selain styer 69.dengan semakin banyak kombinasi senapan serbu bisa memungkinkan adanya batalyon infanteri yang diisi oleh tenaga guru,1.sebagai prajurit infanteri yang berpatroli diperbatasan,2.TNI punya kesempatan menjadi pengajar dan pendidik digarda tapal batas,guna memunculkan bakat serta minat anak anak diperbatasan menjadi tenaga guru sekaligus tentara infanteri.
Mas mau nanya, untuk larasnya Pindad SS2 masih harus diimpor ya? Atau Pindad buat sendiri?
Dulu sih masih impor dari Perancis. Semoga materialnya sudah tersedia di dalam negeri