AIRSPACE REVIEW – Pemerintah Kanada secara resmi memastikan akan menerima setidaknya 16 jet tempur siluman F-35A Lightning II dari Lockheed Martin dari rencana semula untuk mengakuisisi 88 unit.
Sementara pemesanan 72 pesawat lainnya akan ditentukan kemudian di masa mendatang.
Menteri Negara untuk Akuisisi Pertahanan Kanada, Stephen Fuhr, dalam sebuah wawancara dengan CBC News menyatakan, Kanada tidak bermaksud untuk untuk keluar dari kontrak saat ini, karena 16 pesawat tersebut sedang diproduksi.
Pernyataan Fuhr muncul di tengah tinjauan program akuisisi F-35 yang kontroversial, yang awalnya bernilai sekitar 19 miliar USD tetapi kini melebihi 27,7 miliar USD, menurut audit pemerintah Kanada.
Laporan tersebut menyebutkan inflasi, tingginya permintaan global akan senjata, dan keterlambatan infrastruktur sebagai faktor utama yang mendorong kenaikan biaya.
Sumber di Kementerian Pertahanan Kanada mengatakan, Kanada telah melunasi pembayaran penuh untuk empat pesawat dan memperoleh komponen untuk delapan pesawat lainnya.
Pengiriman pesawat pertama dijadwalkan berlangsung di Pangkalan Angkatan Udara Luke di Arizona, tempat para pilot dan teknisi Kanada akan memulai pelatihan pada tahun 2026.
Angkatan Udara Kerajaan Kanada (RCAF) berencana untuk secara bertahap mengganti CF-18 Hornet yang dimilikinya saat ini, yang diperkirakan akan tetap beroperasi hingga awal dekade berikutnya.
Kanada telah berpartisipasi dalam program Joint Strike Fighter (JSF) sejak tahun 1997 dengan menginvestasikan sekitar 500 juta USD dan mengamankan kontrak dengan perusahaan lokal senilai lebih dari 1,8 miliar USD.
Perjanjian yang ditandatangani pada Januari 2023 itu mengatur akuisisi 88 unit F-35A sebagai bagian dari Future Fighter Capability Project (FFCP) guna memodernisasi armada RCAF dan menjaga interoperabilitas dengan sekutu NATO dan NORAD.
Namun, kelanjutan penuh program ini menghadapi tantangan politik dan ekonomi. Perdana Menteri Mark Carney memerintahkan peninjauan penuh atas kontrak tersebut pada Maret 2025, menyusul ketegangan perdagangan dan diplomatik dengan Amerika Serikat.
Reuters melaporkan, keputusan akhir mengenai kelanjutan pembelian F-35 diperkirakan akan diumumkan pada akhir tahun 2025.
Meskipun ada tekanan dari Parlemen untuk meninjau kembali perjanjian tersebut, otoritas militer menganjurkan agar rencana awal untuk 88 jet tempur tetap dipertahankan.
Militer Kanada mengingatkan bahwa pengurangan apa pun dapat membahayakan kemampuan operasional dan integrasi negara dengan sekutu.
Sebuah laporan internal Kementerian Pertahanan menyatakan bahwa pemisahan pesanan atau adopsi pesawat dari berbagai sumber, seperti Saab Gripen, Eurofighter Typhoon, atau Dassault Rafale, akan meningkatkan biaya logistik dan pelatihan.
Meskipun demikian, beberapa sektor di pemerintahan Kanada sedang mengevaluasi kemungkinan armada gabungan, yang menggabungkan F-35 dengan jet Eropa, sebagai cara untuk mengurangi ketergantungan teknologi pada Amerika Serikat dan mendiversifikasi kemitraan internasional.
Komandan RCAF yang baru, Letnan Jenderal Jamie Speiser-Blanchet, mengakui bahwa negara tersebut perlu mengoperasikan dua armada secara paralel selama transisi, yang akan menggandakan sebagian biaya infrastruktur dan pelatihan.
Program ini juga memiliki bobot industri dan politik. Lebih dari 30 perusahaan Kanada terlibat dalam produksi dan pemeliharaan F-35.
Di luar pertimbangan anggaran, keputusan tentang masa depan F-35 juga mencerminkan kekhawatiran strategis Kanada terkait pertahanan Arktik dan kerja sama NORAD.
Para analis menunjukkan bahwa Ottawa berupaya menyeimbangkan hubungannya dengan Washington, memperkuat aliansi dengan negara-negara Nordik, dan mempertahankan otonomi dalam kebijakan pertahanannya. (RNS)

