Rafale, lebih 20 tahun tak laku dijual, kini calon pelanggan harus antre untuk membelinya

Rafale MesirEAF
ROE

AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Tidak ada yang instan dan tidak ada yang mudah dalam membuat pesawat. Setelah pesawat jadi, tantangan berikutnya adalah menjualnya. Pabrik pesawat menghadapi kedua tantangan tersebut sejak konsep pesawat digulirkan di meja desain.

Jet tempur Rafale, adalah salah satu conton pesawat yang berhasil melewati masa sulit dalam hal penjualan, bahkan hingga lebih 20 tahun sejak pesawat buatan Dassault Aviation ini mengudara perdana pada tahun 1986.

Boeing_contoh2

Seolah-olah Rafale tidak ada yang meminati, kecuali Angkatan Bersenjata Prancis yang memang wajib untuk menggunakan pesawat ini.

Rafale pun pernah diancam untuk disuntik mati karena tidak berhasil menembus penjualan internasional.

Tetapi kondisi kemudian berbalik 180 derajat ketika Rafale mulai mendapat perhatian dari Mesir dan Qatar yang berniat untuk meminangnya di tahun 2015.

Sebelumnya, Rafale mencapai kesuksesan dan cap combat proven dalam perang di Libia tahun 2011. Armada Rafale yang dikerahkan Prancis bahkan dapat dikatakan menjadi bintang di palagan tersebut.

Selama delapan tahun pada kurun 2015-2022, Rafale melejit dalam hal penjualan hingga membukukan pendapatan sebesar 57 miliar dolar AS bagi Dassault dari pesanan yang terkumpul untuk Rafale.

Menurut catatan sumber pertahanan terbuka, ekspor Rafale dimulai tahun 2015 ke Mesir sebanyak 24 unit. Atas pembelian ini, Mesir menjadi negara asing pelanggan pertama Rafale dari Prancis.

Selain membeli Rafale, Kairo juga membeli satu unit fregat kelas FREMM dan rudal udara ke udara MBDA. Total pembelian ini senilai 5,9 miliar dolar AS, termasuk sekitar 4,0 miliar dolar AS di antaranya untuk Rafale.

Di tahun yang sama, Qatar menandatangani kontrak senilai 7,0 miliar dolar AS untuk 24 Rafale. Kontrak termasuk rudal MBDA dan pelatihan militer Prancis terhadap 36 pilot Qatar dan 100 teknisi.

Setahun kemudian pada 2016, India menandatangani kesepakatan senilai 9,2 miliar dolar AS untuk 36 Rafale. Akuisisi ini termasuk suku cadang dan rudal MBDA Meteor.

Selanjutnya di tahun 2017, Qatar kemabali menandatangani kesepakatan untuk mengakuisisi 12 unit Rafale tambahan senilai 1,3 miliar dolar AS.

Kemudian di tahun 2021, Yunani menandatangani kontrak senilai 2,6 miliar dolar AS untuk 18 Rafale yang terdidi dari 12 unit Rafale bekas dan enam unit Rafale baru.

Masih di tahun yang sama, Mesir kembali menandatangani kontrak akuisisi 30 unit Rafale tambahan senilai 4,5 miliar dolar AS.

Di tahun 2021, Kroasia juga menandatangani kesepakatan senilai 1,2 miliar dolar AS untuk 12 Rafale bekas. Kontrak ini termasuk pelatihan, peralatan, dan dukungan teknis.

Berikutnya masih di tahun 2021, Uni Emirat Arab (UEA) menandatangani kontrak pembelian 80 unit Rafale senilai total 19,2 miliar dolar AS. Nilai ini sudah termasuk 12 unit helikopter militer multiguna H225M. Dengan pembelian ini, UEA menjadi pelanggan terbesar Rafale di luar Prancis.

Setahun berikutnya pada 2022, Yunani menandatangani perjanjian tambahan untuk enam Rafale lagi. Jumlah nilai kesepakatan tidak diungkapkan.

Lalu di tahun 2022 tersebut, Indonesia menandatangani kesepakatan senilai 8,1 miliar dolar AS untuk 42 unit Rafale.

Rafale tampaknya masih akan mendapat pesanan di tahun-tahun berikutnya. Yang awalnya sepi pembeli, kini negara-negara yang berminat harus antre membeli.

Indonesia yang pada tahap pertama telah memesan enam unit Rafale baru, harus menunggu hingga paling cepat tahun 2026 untuk mendapatkan jet tempur idola baru ini.

-Poetra-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *