AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Lautan yang meliputi dua pertiga Bumi secara keseluruhan, telah menginspirasi manusia untuk membuat benteng terapung di lautan. Belum seratus tahun lewat, kapal induk bertenaga nuklir telah menjadi salah satu simbol kedigdayaan angkatan laut dunia.
Laut yang menjadi pemisah benua, awalnya dinilai sebagai penghambat mobilisasi alat tempur udara. Pesawat tempur memang bisa diterbangkan dari satu daratan ke daratan lain melintasi lautan. Tetapi, dengan kapasitas tangki bahan bakarnya yang terbatas, hal itu menjadi kendala tersendiri untuk mencapai wilayah yang jauh. Belum lagi ditinjau dari sisi kepraktisannya, pergi pulang terbang melintasi samudera luas amat melelahkan pilot.
Membawa tangki bahan bakar cadangan bisa dilakukan untuk menambah jam terbang pesawat. Namun, akibatnya pesawat tempur menjadi kurang kelincahannya. Kapasitas bobot maksimal pesawat pun jadi tersedot untuk membawa bahan bakar tambahan ketimbang membawa persenjataan secara maksimal.
Kemudian, pesawat tempur memang bisa melakukan pengisian bahan bakar (refueling) di udara dengan bantuan pesawat tanker. Tapi, lagi-lagi, cara ini tetap memerlukan waktu lebih dan pengerahan pesawat lain sehingga proses pengisian bahan bakar di udara dapat dilaksanakan dengan baik.
Pemikiran menjadikan kapal induk sebagai pangkalan berpindah, menjadi solusi yang kemudian mendapat tempat. Problem-problem yang disebut sebelumnya pun perlahan bisa teratasi sedemikian rupa. Ini terjadi manakala pesawat tempur jet makin berkembang pesat pasca Perang Dunia (PD) II.
Dengan mengerahkan kapal induk, berbagai unit kekuatan perang dapat dikerahkan ke medan tempur secara bersamaan. Baik pesawat pengintai, pesawat penyerang, hingga pesawat tempur dominasi udara. Belum lagi, dalam operasinya kapal induk didampingi gugus tempur laut yang lain, seperti kapal perang, kapal perusak, kapal tanker, hingga kapal selam.
Dengan mengerahkan kapal induk dalam perang, sebuah negara mampu menekan negara lain sedemikian hebat. Lebih-lebih dengan kapal induk yang berukuran besar dengan armada pesawat yang lengkap dan bersenjata. Penghujung abad dua puluh merupakan masa pembuktian peran kapal induk nuklir milik Amerika Serikat (AS). Hal ini telah ditunjukkan secara spektakuler saat AS memerintahkan kapal-kapal induknya merapat ke Teluk Persia saat Perang AS-Irak tahun 1991 dan 2003.
Mengubah kapal penjelajah
Menilik sejarahnya ke belakang, evolusi kapal induk terbilang cepat dalam beberapa periode. Hal ini dipicu oleh situasi ketegangan dunia dengan sejumlah perang besarnya. Antara lain PD I, PD II, dan situasi Perang Dingin.
Tahun 1913, sepuluh tahun setelah pesawat terbang bermesin diciptakan oleh Wright Bersaudara, menjadi awal dimulainya orang menggunakan kapal sebagai pengangkut pesawat. Di tahun tersebut, Inggris pertama kali berhasil menggunakan HMS Hermes sebagai dek pendaratan pesawat.
Sebelum itu, antara tahun 1910-1913, pilot-pilot Amerika dan Inggris, juga Jepang melakukan berbagai pengujian penerbangan dari kapal penjelajah yang telah dimodifikasi. Beberapa pilot mencoba menerbangkan pesawat dari dek yang masih sederhana. Salah satunya tercatat pada Mei 1912 ketika Letnan R Gregori berhasil menerbangkan pesawat dari HMS Hibernia.
Pengujian yang berhasil pada babak awal ini tak pelak membuka mata banyak pihak terbuka. Muncullah kemudian era di mana ada istilah plane goes to sea. Bahwa pesawat mulai bisa dibawa ke laut. Hasilnya, pada era 1914-1918, Inggris sedikitnya telah mengoperasikan 14 kapal induk (pembawa pesawat). Antara lain HMS Hermes, HMS Empres dan banyak dari kelas HMS Engadine seperti HMS Riviera, HMS Ark Royal, HMS Ben-My-Chree, dan lainnya.
Prancis, pada masa yang sama, mengoperasikan lima kapal induk, yaitu Foudre, Campinas, Nord, Pas-de-Calais, dan Rouen. Sementara Jepang baru punya Wakamiya dan Uni Soviet dengan Almaz-nya. Ironisnya, AS yang kini sebagai penguasa Super Carrier, pada era PD I malah belum punya kapal induk. Amerika baru mengoperasikan CV-1 Langley pada bulan Maret 1922. Kapal tersebut dibuat selama 11 tahun sejak 1911.
Evolusi dek
Dek kapal induk diciptakan dari bentuk sederhana hingga berdesain futuristik saat memasuki dekade kedua abad 21. AS dengan rancangan CVNX (CVN-21) atau Inggris dengan CVF-nya telah menunjukkan bentuk dek yang paling ideal bagi pesawat F-35B STOVL maupun F-35C.
Selama 90 tahun, antara 1903 hingga 2003, beberapa rancangan dek kapal induk dapat kita amati mempunyai beberapa perbedaan. Bila pada mulanya dek dibuat terpisah menjadi dua bagian, depan dan belakang dipisahkan oleh anjungan (island), kemudian berubah menjadi landasan lurus menyatu, hingga landasan menyamping atau bersudut.
Bentuk evolusi ini bisa kita lihat dari geometri lima kapal induk, yaitu HMS Furious (1918), USS Lexington (1939), Akagi (1941), Shangri-La (1957), dan Nimitz (1992).
Setelah itu, pembangunan kapal induk sesaat terhenti setelah adanya perjanjian Versailles pasca PD I. Perjanjian ini antara lain mewajibkan angkatan bersenjata mengurangi pembangunan alutsistanya termasuk kapal induk. Meski demikian, upaya-upaya pembangunan kapal induk tetap tak bisa dihindari. Lebih-lebih setelah memasuki era 1930-an kala Adolf Hitler mencanangkan dengan berani bahwa Jerman harus dipersenjatai.
Memasuki PD II, negara-negara besar mulai berlomba membuat kapal induk. Saat itu, Inggris telah memiliki lebih dari 90 kapal induk, Jepang dengan lebih 40 kapal induk, dan AS dengan lebih 100 kapal induk. Jerman sendiri, ironisnya, hanya mengandalkan satu kapal induk yakni Graf Zeppelin.
Lepas PD II, perancangan kapal induk memasuki babak baru dengan beroperasinya pesawat jet tempur. Pada era ini pula AS makin melaju terus meninggalkan negara lain. Sementara Jepang yang berjaya dengan penyerangan terhadap Pearl Harbor menggunakan kapal induk, mulai makin surut. Uni Soviet, selepas tahun 1950 juga agak lambat. Negara adidaya itu hanya mengandalkan beberapa kapal induk seperti Moskva, Leningrad, Minsk, dan Novorossiysk.
Konstruksi AS
Menengok upaya AS untuk menjadi yang terbesar, sejak tahun 1950 hampir semua kapal induk Paman Sam konstruksinya dikerjakan di Northrop Grumman, Newport, Virginia. Bagian-bagian dari kapal induk dibuat terpisah dan dirakit dalam modular terpisah yang disebut superlifts. Setiap superlifts terdiri dari beberapa kamar dengan bobot antara 80 hingga 900 ton. Dapat dibayangkan betapa besarnya. Keseluruhan superlift untuk sebuah super carrier ini mencapai 200 unit.
Penyatuan modular superlift dilakukan menggunakan crane raksasa. Setelah semua modular menyatu, modular terakhir yang disatukan adalah island atau “menara” kapal. Island memiliki bobot sekitar 570-an ton.
Melihat geometri dek, tidak terlalu banyak perubahan dalam rancangan kapal induk AS. Yang menjadi ciri baru adalah landasan menyamping (angled) dan lambung kapal yang besar untuk parkir pesawat.
Nuclear power
Dari berbagai upaya kerasnya, akhirnya AS berhasil membangun pencitraan kapal induk modern. Dengan sejumlah besar kapal induk bertenaga nuklirnya, AS tumbuh menjadi satu-satunya penguasa dunia dari lautan. Bahkan meninggalkan jauh rival sejatinya Uni Soviet maupun Rusia sebagai penerusnya.
Dek besar dan daya jelajah yang tanpa batas, itulah resep yang telah ditemukan dalam evolusi kapal induk hingga muncul istilah super carrier yang telah disebutkan tadi. Satu yang perlu digarisbawahi, perubahan bentuk dan dimensi kapal induk tidak lepas dari penciptaan pesawat jet tempur. Ke depan, rancangan ini akan ditambah dengan spesifikasi berteknologi siluman mengiringi perkembangan teknologi radar yang makin canggih.
Selain dek yang besar, super carrier juga punya lambung yang besar. Di sini tersimpan berbagai muatan penting disamping ruang untuk menyimpan pesawat dan persenjataan tentunya.
Belakangan, evolusi pada bagian mesin juga telah menentukan tingkat kehebatan kapal induk. Dengan mesin bertenaga nuklir yang dirintis AL AS, misalnya, sebuah super carrier bisa diperintahkan menjangkau wilayah manapun di dunia dalam waktu kurang dari 48 jam.
Mesin bertenaga nuklir juga memungkinkan kapal induk menjelajah lebih lama dengan bahan bakar yang jauh lebih irit. Bayangkan, dengan reaktor nuklir, sebuah kapal induk cukup mengisi bahan bakar sekali dalam kurun 20 tahun.
-RNS-