Buntut disetujuinya penjualan F-35 ke UEA, Israel meminta F-22 Raptor

F-22 RaptorUSAF

AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Israel dilaporkan telah mengalah pada ketetapan AS yang mengabulkan permohonan Uni Emirat Arab (UEA) untuk memiliki jet tempur siluman F-35 Lightning II. Namun sebagai buntutnya, Tel Aviv meminta Washington untuk dapat memiliki F-22 Raptor.

Diberitakan oleh surat kabar Israel, Haaretz, Perdana Menteri Israel Benny Gantz telah menyampaikan hal itu kepada Menteri Pertahanan Amerika Serikat Mark Esper dalam pertemuan di Washington pada 23 Oktober 2020.

Israel berpegang pada Undang-Undang AS yang menyatakan bahwa Washington akan menjamin Israel untuk dapat membeli peralatan militer canggih dari AS dan AS pun menjamin keunggulan militer kualitatif Israel dibanding negara-negara lain di Timur Tengah.

Hanya saja permasalahannya, F-22 sudah tidak diproduksi lagi. Pesawat tempur siluman dominasi udara ini terakhir keluar dari lini produksinya pada Desember 2011. Sedangkan untuk memulai kembali produksinya akan dibutuhkan biaya yang sangat besar.

F-22 memiliki kemampuannya lebih tinggi dari F-35. Pesawat ini hanya dimiliki oleh Angkatan Udara Amerika Serikat dalam jumlah sedikit, 183 unit saja.

Lalu apakah dengan begitu, USAF akan merelakan sebagian inventori F-22-nya kepada Israel? Sedangkan di satu sisi AS menghadapi ancaman yang semakin relevan dari China di Laut China Selatan.

Sebelumnya, Israel telah meminta penjualan senjata senilai 8 miliar dolar AS menyusul kesepakatan damai yang telah dilakukan dengan UEA pada September 2020.

Namun, setelah Israel mengalah pada niat AS untuk menjual F-35 kepada UEA, Gantz dilaporkan memperbarui perintah lama Israel untuk mengotorisasi ekspor F-22.

Keinginan Israel untuk memiliki F-22 sebelumnya telah dipatahkan oleh Amandemen Obey 1998 yang secara khusus melarang dilakukannya ekspor maupun pembuatan secara lisensi F-22 kepada negara lain.

Amandemen Obey 1998 dicetuskan oleh anggota Kongres, David Obey, pada Undang-Undang Alokasi Departemen Pertahanan AS tahun 1998. Obey mengkhawatirkan sejumlah teknologi sensitif dan rahasia yang dikembangkan untuk F-22 dapat direkayasa ulang oleh musuh-musuh Amerika Serikat jika AS mengekspor pesawat ini.

Kalimat dalam Amandemen Obey 1998 menyatakan, “Tidak ada dana yang disediakan dalam Undang-Undang ini yang dapat digunakan untuk menyetujui atau melisensikan penjualan pesawat tempur taktis canggih F-22 kepada pemerintah asing mana pun.”

F-22 RaptorRoni Sontani/AR

Dibandingkan dengan F-35, F-22 memiliki penampang radar yang lebih kecil dibanding F-35 yang diekspor secara luas.

F-22 juga memiliki kecepatan dan kemampuan manuver yang jauh lebih besar berkat mesin turbofan F-119 dengan vektor dorongnya. F-22 mampu terbang dalam kecepatan supersonik tanpa afterburner.

Selain bersifat siluman, pesawat yang telah beroperasi sejak 2005 ini memiliki karakteristik penerbangan manuver super. F-22 dideskripsikan sebagai jet tempur yang menakutkan dan sulit dikalahkan dalam pertempuran udara ke udara.

Walaupun, untuk beberapa teknologi yang digunakan, F-22  disebut memiliki kekurangan dibanding F-35 yang terus diperbarui. Kalaupun F-22 akan dilahirkan kembali, pesawat ini akan menggabungkan kemajuan sistem komputer yang ada di F-35.

Ide ini sebenarnya telah diadopsi oleh Jepang saat Negeri Matahari Terbit ditolak keinginannya oleh AS untuk memiliki F-22. Jepang kemudian berupaya mengembangkan jet siluman generasi keenam yang merupakan perpaduan dari F-22 dan F-35.

Jepang sebenarnya telah menerima sejumlah F-35 dan membeli pesawat ini dalam jumlah yang banyak, namun Tokyo merasa pesawat tempur superioritas udara bukanlah F-35. Pesawat baru untuk fungsi itu masih perlu dilahirkan.

Roni Sontani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *