AIRSPACE REVIEW – Perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung hampir empat tahun sejak Februari 2022, semakin menunjukkan pergeseran taktik dan strategi pertempuran. Medan perang modern kini tak lagi didominasi oleh pengerahan pasukan infanteri secara besar-besaran, melainkan oleh penggunaan teknologi nirawak (drone dan UUV) yang lincah dan mematikan.
Dalam strategi permainan catur, Moskow tampaknya sering kecolongan, menunjukkan bahwa Kremlin harus segera mengevaluasi dan mengubah strategi serangan dan pertahanannya.
Awalnya, Operasi Militer Skala Penuh (Barat: Invasi) Rusia terhadap Ukraina pada Februari 2022 didasarkan pada strategi konvensional, di mana Rusia lebih mengedepankan kekuatan tank, artileri berat, dan keunggulan jumlah pasukan. Namun, Ukraina dengan cepat mengadaptasi taktik modern yang mengandalkan fleksibilitas dan asimetri.
Kunci utama perubahan ini adalah efektivitas drone udara (UAV, termasuk drone FPV dan drone kamikaze) serta kendaraan nirawak bawah air (UUV) Ukraina. Serangan berulang terhadap sasaran vital Rusia, mulai dari infrastruktur militer, depot amunisi, hingga armada Laut Hitam, menjadi bukti nyata hal ini.
Ukraina telah menunjukkan inovasi yang signifikan untuk menyerang sasaran-sasaran strategis di wilayah Rusia dan Krimea yang diduduki. Keberhasilan serangan ini, yang bahkan menargetkan pembom strategis dan kapal selam, menyoroti sejumlah kelemahan dalam pertahanan Rusia.
Kelemahan Pertahanan Udara Terhadap Drone Kecil
Sistem pertahanan udara Rusia, seperti S-300 dan S-400, dirancang untuk menghadapi ancaman konvensional dan berkecepatan tinggi, seperti pesawat tempur dan rudal jelajah. Namun, drone Ukraina seringkali memiliki karakteristik yang menyulitkan sistem ini:
Banyak drone yang digunakan Ukraina, terutama yang berbasis komersial yang dimodifikasi atau yang dikembangkan secara lokal. Drone-drone kecil ini membuat mereka sulit dideteksi oleh radar pertahanan udara jarak jauh.
Drone seringkali terbang pada ketinggian yang sangat rendah dan kecepatan yang relatif lambat, memungkinkan mereka menghindari cakupan radar dan sistem pertahanan udara yang berorientasi pada target cepat dan tinggi.
Ukraina juga kerap melancarkan serangan menggunakan puluhan drone sekaligus, seperti dalam serangan terhadap armada pembom strategis di pangkalan-pangkalan udara Rusia. Serangan semacam ini dilakukan secara mendadak dan mengejutkan.
Meskipun Rusia memiliki kemampuan peperangan elektronik (EW) yang mumpuni, Ukraina juga terus beradaptasi dan memodifikasi drone mereka untuk lebih tahan terhadap upaya jamming atau menggunakan rute yang sulit diprediksi.
Serangan drone dari dalam teritorial Rusia menggunakan truk pengangkut kontainer, merupakan salah satu inovasi dan taktik jitu yang dilakukan pasukan Ukraina.
Serangan besar-besaran Ukraina menggunakan drone FPV (first-person view) yang dipersenjatai tersebut telah menghancurkan secara massal pesawat pembom Rusia di wilayah Irkutsk.
Dinas Keamanan Ukraina (SBU) mengklaim, lebih dari 40 pesawat pengebom Rusia berhasil dihancurkan secara massal dalam sekejap, menggunakan drone yang disembunyikan di dalam truk pada 1 Juni 2025.
Demikian juga dengan penggunaan drone bawah air (UUV) seperti Sub Sea Baby untuk menyerang kapal Angkatan Laut Rusia, termasuk klaim keberhasilan dari ancaman asimetris yang efektif.
Media-media internasional melaporkan klaim SBU yang mengatakan telah berhasil melakukan serangan UUVterhadap kapal selam diesel-elektrik kelas Project 636 Varshavyanka di Pangkalan Angkatan Laut Hitam Rusia di Novorossiysk. SBU pada 16 Desember lalu.
Sama seperti drone udara, UUV bergerak di lingkungan yang sulit dideteksi. Kapal selam dan fasilitas pelabuhan memiliki pertahanan yang lebih berfokus pada ranjau dan torpedo berawak, bukan pada kendaraan bawah air otonom yang kecil.
UUV Sub Sea Baby Ukraina telah menunjukkan kemampuan jangkauan yang mengejutkan, memungkinkan serangan terhadap aset-aset berharga Rusia. Efek kejut dari teknologi baru ini dilakukan Ukraina, dapat dikatakan lebih cepat dari adaptasi pertahanan Rusia.
Kapal selam, pembom strategis, dan aset-aset penting Rusia lainnya yang ditempatkan di pangkalan udara, pelabuhan, maupun infrastruktur kritis lainnya menjadi sasaran empuk karena posisinya mereka yang relatif statis.
Adanya celah dalam jaringan pertahanan dan pengawasan Rusia, memungkinkan drone dan UUV Ukraina untuk menempuh jarak ratusan kilometer tanpa terdeteksi atau diintersepsi tepat waktu.
Di sisi lain, keamanan fisik di beberapa pangkalan udara dan fasilitas penting Rusia, harus diakui tampaknya tidak siap untuk menghadapi ancaman semacam itu.
Mengapa Rusia “Sulit” Melakukan Pembalasan yang Setara
Meskipun Rusia memiliki inventaris senjata yang jauh lebih besar dan kuat dibandingkan Ukraina, ada faktor-faktor yang menghambat kemampuannya untuk memberikan pembalasan yang setara.
Salah satu di antaranya, menurut para analis, adalah perencanaan logistik yang buruk. Laporan awal konflik menunjukkan adanya masalah logistik dan rantai pasokan yang serius di pihak Rusia, yang membatasi kemampuan untuk melancarkan serangan balasan yang berkelanjutan dan terkoordinasi.
Faktor lainnya, meskipun Rusia memiliki banyak target untuk diserang, kemampuan intelijen dan penargetannya mungkin tidak selalu akurat atau up-to-date untuk mengenai sasaran-sasaran militer berharga Ukraina dengan presisi.
Faktor lain yang menjadi penghambat bagi Rusia, adalah adanya sanksi Barat yang telah membatasi akses Rusia terhadap komponen mikroelektronika canggih yang vital untuk produksi sistem senjata presisi dan modernisasi pertahanan drone yang efektif.
Tidak dapat dimungkiri, Rusia tidak leluasa lagi untuk memperoleh komponen-komponen yang selama ini digunakannya karena telah diblokir oleh Barat.
Rusia mengandalkan negara-negara mitra seperti Iran, China, dan Korea Utara untuk menambal kebutuhan komponen maupun persenjataan siap pakai, walaupun jumlahnya terbatas. Rusia membutuhkan waktu untuk membuat komponen sendiri atau mengintegrasikan komponen baru yang tidak spesifik.
Oleh karenanya, Rusia cenderung mengandalkan sistem yang lebih tua atau proses modernisasi yang lebih lambat, terutama dalam menghadapi ancaman drone kecil.
Rusia juga menghadapi degradasi inventaris militernya akibat penggunaan persenjataan yang masif untuk menyerang Ukraina. Bagaimanapun, stok yang tersedia akan terkuras dan Rusia harus mengejarnya dengan peningkatan produksi yang cepat.
Penggunaan rudal presisi Rusia yang intensif pada awal konflik dan kerugian operasional pasukan elite telah menyebabkan degradasi persediaan dan kemampuan, membuat serangan balasan yang setara menjadi semakin sulit.
Sedangkan Ukraina, terus mendapat bantuan sistem pertahanan udara Barat, seperti NASAMS, Patriot, IRIS-T, dan lainnya. Hal ini meningkatkan kemampuan Ukraina untuk menembak jatuh rudal-rudal jelajah dan drone Rusia.
Dukungan intelijen, pengawasan, dan pengintaian (ISR) dari negara-negara NATO, juga memberikan Ukraina keunggulan tersendiri dalam merencanakan serangan asimetris dan menghindari serangan balasan Rusia.
Bila menggunakan analogi permainan catur, Ukraina telah menciptakan ancaman yang memaksa (forcing move) yang mengganggu struktur pertahanan Rusia.
Apa yang Harus Dilakukan Rusia?
Untuk melawan taktik inovatif Ukraina, mutlak bagi Rusia untuk melakukan perubahan mendasar, beralih dari fokus ofensif konvensional ke strategi pertahanan aktif dan inovasi balasan.
Strategi mendasar, Rusia harus membangun semacam “kubah besi” untuk antidrone dan anti-UUV. Rusia harus mengubah fokus utama dari sistem pertahanan udara jarak jauh, seperti S-400, ke pertahanan titik (point defense) jarak dekat dan menengah, serta pertahanan maritim baru.
Maksud di sini, bukan berarti Rusia harus mengabaikan sistem S-400, namun melapisinya dengan sistem pertahanan udara titik yang lebih masif.
Kedua, Rusia harus memiliki, katakanlah ribuan sistem C-UAS (Counter-UAS), yang tidak perlu mahal, tetapi sangat efektif untuk menangkal serangan-serangan drone yang masif.
Sistem ini dapat dilengkapi dengan senjata jamming elektronik berfrekuensi luas dan sistem tembakan otomatis jarak dekat (CIWS) berbasis meriam atau rudal mini berbiaya rendah di sekitar aset-aset vital, seperti pangkalan udara, pabrik, fasilitas infrastruktur. Penulis percaya, Rusia mulai melakukan hal ini dengan pengembangan yang kontinyu dan beragam.
Hal lainnya yang dimiliki dan dikembangkan adalah radar yang dioptimalkan untuk mendeteksi objek low-slow-small (LSS). Radar-radar kecil ini bisa ditempatkan di sekitar objek-objek vital militer untuk menjaga aset-aset berharga.
Sementara untuk menangkal serangan UUV, Rusia harus memiliki jaringan sensor hidrofon, sonar mini, dan kabel pendeteksi di sekitar pangkalan angkatan lautnya, khususnya di wilayah-wilayah yang rawan terkena serangan seprti di Krimea.
Pengerahan kapal-kapal kecil dan cepat yang dilengkapi dengan sonar frekuensi tinggi, juga perlu dilakukan untuk mendeteksi UUV. Kapal-kapal ini jelas harus dilengkapi dengan senjata anti-UUV jarak dekat, seperti granat kedalaman atau UUV pencegat. Tidak mudah untuk merancang UUV pencegat, namun hal ini perlu dikembangkan sebagai senjata sesama bawah air.
Jaring pengadang fisik, juga harus dibangun sebagai penghalang di pintu masuk pelabuhan dan sekitar kapal-kapal bernilai tinggi yang berlabuh di pelabuhan.
Sebagai negara yang lebih besar dan lebih maju dibanding Ukraina, Rusia sepatutnya harus mengembangkan inovasi yang lebih maju dibanding Ukraina.
Berinvestasi secara besar-besaran untuk mengembangkan UUV Sub Sea Baby versi Rusia, misalnya, menjadi sebuah terobosan untuk melakukan serangan pembalasan terhadap aset-aset laut militer Ukraina.
Serangan Balik Terhadap Rantai Inovasi Ukraina
Karena Ukraina berhasil mengembangkan inovasi baru dalam produksi drone maupun UUV, maka penting bagi Rusia untuk melumpuhkan pusat-pusat kemampuan tersebut.
Serangan terhadap pabrik drone maupun UUV Ukraina, dapat menghentikan produksi dan rantai inovasi Ukraina, walaupun mungkin Ukraina akan bekerja sama dengan negara-negara mitranya untuk pembuatan produk tersebut di luar negeri.
Serangan siber yang canggih terhadap jaringan komando dan kontrol drone Ukraina, dapat melumpuhkan atau mengambil alih kendali sistem tak berawak mereka. Demikian juga dengan menargetkan pusat pelatihan operator drone dan jalur logistik yang membawa komponen drone serta UUV dari Barat ke zona konflik.
Dengan menerapkan kombinasi taktik-taktik tersebut, dikombilasikan dengan pertahanan kinetik berlapis, diharapkan Rusia dapat meredam keunggulan asimetris yang saat ini dicapai oleh Ukraina.
Dari semua yang telah diuraikan di atas, tidak berarti bahwa Rusia saat ini telah kalah perang dari Ukraina. Penguasaan wilayah-wilayah Ukraina oleh pasukan Rusia, bahkan menandakan bahwa pasukan Rusia masih terlalu kuat untuk dihalau oleh pasukan Ukraina.
Pernyataan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang pada akhirnya alam membatalkan rencana Ukraina untuk bergabung dengan NATO, juga menunjukkan “kemenangan tahap pertama” bagi Rusia, khususnya lagi bagi Presiden Vladimir Putin.
Putin dengan pernyataannya yang kuat bahwa Rusia tidak akan tunduk dengan pasal-pasal perdamaian yang diajukan Amerika Serikat, juga menandaskan bahwa Rusia tidak akan dapat diatur atau disetir oleh negara-negara lainnya, termasuk AS dan Uni Eropa.
Pada akhirnya, yang kuatlah yang akan menjadi pemenang perang. Rusia atau Ukraina? Atau Amerika Serikat dan NATO? (RNS)


“Bila menggunakan analogi permainan catur, Ukraina telah menciptakan ancaman yang memaksa (forcing move) yang mengganggu struktur pertahanan Rusia.”
Ancaman yang memaksa (forcing move) tersebut dalam papan catur sebagai ilustrasinya mungkin bisa diterjemahkan seperti ini: Rusia sebagai pemain Putih yang memiliki keunggulan material (lebih banyak perwira) dan telah membangun rantai pion yang sangat kuat dan kaku di pusat papan, strategi yang dirancang untuk ‘menggiling’ lawan secara perlahan melalui atrisi atau keunggulan statis. Sementara Ukraina, sebagai Hitam, tidak melawan kekuatan statis tersebut secara langsung. Sebaliknya, mereka melakukan langkah memaksa dengan serangan mendadak di area yang tidak dijaga ketat (seperti serangan drone ke target strategis), langkah memaksa ini seperti memberikan ‘skak’ atau mengancam perwira tinggi (Menteri) lawan. Rusia tidak bisa melanjutkan rencana serangannya di pusat karena terpaksa memindahkan perwiranya untuk melindungi titik yang terancam tersebut. Alhasil, Rusia kehilangan ‘tempo’ (giliran melangkah yang berharga) karena sibuk bereaksi, untuk merespons ancaman Ukraina, Rusia terpaksa harus menarik pasukan dari garis depan yang sudah mapan yang diibaratkan seperti merusak rantai pionnya sendiri dan menciptakan ‘lubang’ atau petak lemah yang kini bisa dieksploitasi oleh Ukraina.
Walau taktik ini terbukti efektif untuk mengganggu inisiatif Rusia dan memperlambat laju mereka, namun tidak selalu mengubah peta kekuatan secara permanen. Rusia tetap memiliki keunggulan material jangka panjang, sementara efektivitas ‘langkah memaksa’ Ukraina sangat bergantung pada inovasi teknologi (seperti drone) dan kecepatan pasokan senjata dari Barat untuk menjaga momentum tersebut