AIRSPACE REVIEW – Dari sejumlah rencana pembelian alutsista buatan luar negeri oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI), rencana akuisisi 24 jet tempur F-15IDN (F-15EX Eagle II) untuk TNI Angkatan Udara termasuk salah satu yang tertunda atau masih bersifat “menunggu” hingga saat ini.
Padahal, tiga setengah tahun lalu yaitu pada Februari 2022, Departemen Luar Negeri AS telah menerbitkan persetujuan ekspor 36 F-15IDN bagi Indonesia melalui skema FMS (Foreign Military Sale) beserta perlengkapan dan dukungan terkait dengan perkiraan nilai mencapai 13,9 miliar USD (sekitar Rp199 triliun pada kurs saat itu).
Persetujuan dari AS dikeluarkan setelah melalui tahapan pertimbangan terhadap proposal dari Pemerintah Indonesia yang mengajukan sendiri pembelian jet tempur F-15EX Eagle II, jet tempur generasi 4++ varian terbaru buatan Boeing tersebut, kepada Pemerintah Amerika Serikat.
Persetujuan FMS dari Departemen Luar Negeri AS merupakan persetujuan potensial, yang yang telah diumumkan melalui Badan Kerja Sama Pertahanan Keamanan (DSCA) Pentagon.
DSCA selanjutnya telah memberikan notifikasi kepada Kongres AS untuk penjualan jet tempur F-15IDN beserta kelengkapannya ke Indonesia.
Sudah lebih dari tiga tahun, bola yang sudah dilempar oleh Washington ke Jakarta tersebut belum mendapatkan respons lagi.
Perlu dicatat bahwa persetujuan dari AS tersebut tidak akan dapat dijalankan atau terimplimentasi bila Indonesia belum menandatangani kontrak pembelian dan memberikan uang muka berupa Rupiah Murni Pendamping (RMP) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga kontrak tersebut menjadi efektif atau bersifat come into force.
Setelah persetujuan potensial dikeluarkan oleh Pemerintah AS, Kemhan RI dan Boeing yang ditunjuk menjadi kontraktor utama pengadaan F-15IDN untuk Indonesia, akan melanjutkan proses diskusi secara lebih rinci.
Pada Agustus 2023, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto saat itu (sekarang menjabat sebagai Presiden ke-8 RI) terbang ke AS untuk menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Boeing terkait komitmen pembelian hingga 24 unit pesawat tempur F-15EX (F-15IDN) baru dari Boeing di St. Louis, Missouri, AS.
Setelah itu, tak ada lagi kabar kelanjutan mengenai proses akuisisi jet tempur modern F-15IDN yang awalnya disebut-sebut Indonesia akan menjadi negara pertama di luar AS yang mendapatkan pesawat ini.
Persetujuan potensial AS pada tahun 2022 dan MoU pada tahun 2023 hanyalah sebuah langkah awal. Pembicaraan mengenai detail kontrak yang mencakup harga, spesifikasi teknis akhir untuk varian F-15IDN, offset atau kandungan lokal, jadwal pengiriman, dan dukungan pelatihan/logistik) merupakan proses yang rumit dan panjang sebelum kontrak efektif tercapai.
Di satu sisi, Boeing dan Pemerintah AS telah berupaya mendorong Indonesia untuk segera merealisasikan pembelian F-15EX.
Sebab, penundaan eksekusi kontrak dapat memengaruhi ketersediaan slot produksi, mengingat banyak negara lain juga memesan pesawat sejenis. Israel adalah salah satu negara yang kemudian menyalip Indonesia untuk mengakuisisi jet F-15EX.
Sementara itu, rencana pengadaan alutsista, terutama yang nilainya besar, jelas perlu dikonsultasikan dan disetujui bersama oleh Komisi I DPR RI (Bidang Pertahanan) sebagai bagian dari fungsi pengawasan.
Pertanyaan kita, apakah pembelian sejumlah jet tempur oleh Kementerian Pertahanan RI belakangan ini juga melalui proses itu?
Secara ringkas, AS telah memberikan lampu hijau potensial untuk penjualan F-15 kepada Indonesia.
Namun, realisasi pembelian tersebut belum mencapai tahap kontrak final karena prosesnya masih menunggu keputusan alokasi anggaran dan pendanaan yang pasti dari Pemerintah Indonesia serta finalisasi negosiasi teknis dan komersial dengan Boeing.
Nilai potensial penjualan yang disetujui AS pada 2022 mencapai 13,9 miliar USD untuk 36 unit, yang kemudian oleh Indonesia diturunkan menjadi 24 unit dan harga menyesuaikan, jelas membutuhkan modal pendamping. Akuisisi F-15EX sendiri direncanakan dilakukan melalui Pinjaman Luar Negeri (PLN).
Berdasar sejumlah pemberitaan, Kemhan RI telah merekomendasikan tindak lanjut pembelian, namun eksekusi kontraknya masih menunggu persetujuan dan keputusan final dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kemenkeu harus memastikan alokasi anggaran (melalui PLN) untuk proyek multitahun ini tidak mengganggu kesehatan fiskal negara.
Sementara itu Indonesia telah lebih dulu menandatangani kontrak efektif untuk membeli 42 unit jet tempur Rafale dari Prancis yang juga membutuhkan anggaran yang besar.
Proyek Rafale yang sudah berjalan ini jelas menyedot sebagian besar plafon anggaran PLN yang dialokasikan untuk modernisasi alutsista, yang mencapai sekitar 25 miliar USD hingga tahun 2024.
Dalam hal ini Kemenkeu perlu menghitung ulang kemampuan negara untuk membiayai dua proyek jet tempur kelas atas secara simultan, Rafale dan F-15EX.
Yang jelas, meskipun Nota Kesepahaman (MoU) sudah ditandatangani oleh Kementerian Pertahanan RI pada Agustus 2023 yang disaksikan Menhan Prabowo Subianto saat itu, Kemhan RI belum terikat untuk membeli selama kontrak pembelian (LOA) belum ditandatangani dan dibiayai.
Proses LOA dan penandatanganan kontrak final ini membutuhkan waktu. Indonesia mensyaratkan adanya transfer teknologi (ToT) dan offset (kandungan lokal) dalam pembelian alutsista bernilai besar.
Negosiasi detail tentang komitmen offset 85% dan keterlibatan industri lokal yang dijanjikan Boeing juga membutuhkan waktu tentunya. memakan waktu.
Yang sering mengagetkan kita, di tengah proses panjang untuk pengadaan pesawat tempur dari luar negeri, tiba-tiba muncul pemberitaan sejenis di mana Indonesia diberitakan akan segera mengakuisisi jet tempur lain dari China yang prosesnya terkesan sangat cepat.
Hari ini, media mengutip pernyataan Menhan Sjafrie Sjamsoeddin yang mengatakan bahwa jet jempur J-10 dari China tidak lama lagi akan segera terbang di langit Jakarta.
Apakah pernyataan spontanitas Menhan menjawab pertanyaan wartawan tersebut berarti Indonesia akan mengakuisisi jet tempur J-10 Vigorous Dragon dari China? Lalu bagaimana dengan kelanjutan akuisisi F-15IDN dari AS? Kita nantikan kelanjutan beritanya. (RNS)


Batalin aja, ga ada gunanya juga pesawat teknologi lawas hasil upgrade. Udah punya banyak Rafale jg yg 4.5G. Lagian israhell beli itu sebenarnya yg bayar bukan dia, tapi pake duit rakyat US lewat Military Assistance
Admin nya asik pake foto meme 🤣 oh ya mending dibatalkan saja akuisisi F-15EX karena rawan embargo & persyaratan penggunaan nya yang cukup ketat dibanding dengan pespur lainnya yang Indonesia akuisisi
barang bagus tapi syarat pengunaan yg bikin males,…. belum lagi rawan embargo,… tapi ya mo gimana lagi,.. beli aja 24 unit tempatkan di kalimantan utara,… atau kalimantan timur ,… J 10 tempatkan di jatim dan NTT ,.. sukhoi di maluku dan Papua ,.. nanti mereka bisa rotasi
Masih MoU belum terikat kok, sebaiknya alihkan untuk pengadaan alutsista yang lain, nilai 24 unit F-15EX capai belasan miliar USD sangat besar sekali jika dibandingkan Israel yang membeli 25 unit seharga 5.2 miliar USD saja 😅
Emang sangat Mehong nih pespur, btw ini kan sebagai barter dalam artian “upeti secara halus” ke Preman terkuat di Dunia. Sama beli J10 dsb juga bentuk upeti juga biar mereka gak rese…TST dah
Sebenernya tidak ada gunanya kita komentar bilang “gak usah beli” atau “Udah batal aja”.
Mending kasih alasan, kenapa kita ga perlu beli pespur seharga naik haji ini.