AIRSPACE REVIEW – Paramiliter Sudan (Rapid Support Forces/RSF) dilaporkan telah menerima sistem rudal permukaan ke udara jarak pendek FB-10A SHORAD buatan China.
Menariknya, sistem FB-10A ini awalnya dibeli oleh Chad dari China pada Februari 2025 berdasarkan kesepakatan yang didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA).
Namun, alih-alih memasuki layanan Angkatan Bersenjata Chad, sistem tersebut justru akhirnya dikirim kepada RSF di Sudan.
Menurut para analis, hal tersebut kemungkinan untuk menyiasati pembatasan pengadaan senjata oleh PBB.
Disinyalir, UEA telah memainkan peran utama dalam memperlengkapi kelompok tersebut melalui saluran proksi, menggunakan mitra di Chad dan Libya untuk memindahkan perangkat keras militer melintasi perbatasan.
Sistem FB-10A dikembangkan oleh Akademi Kedelapan China ASTC (Aerospace Science and Technology Corporation), dirancang menghadapi wahana udara jarak dekat dan memberikan perlindungan bagi unit garis depan dan instalasi utama
Sistem ini bertugas dalam misi pertahanan udara jarak pendek dan titik, yang digunakan untuk mencegat helikopter, drone, rudal jelajah, dan pesawat sayap tetap di ketinggian rendah dengan jarak tembak hingga 18 km.
Berkat arsitektur modularnya, FB-10A dapat beroperasi sebagai bagian dari jaringan pertahanan udara yang lebih besar atau secara independen.
Setiap kendaraan mengintegrasikan sistem deteksi target, pelacakan, kalkulasi parameter, dan delapan peluncur rudal ke dalam satu platform yang juga berfungsi sebagai pusat kendali tembakan sistem.
Kemunculannya FB-10A di tangan RSF menambah kompleksitas baru pada konflik saudara di Sudan.
Sistem pertahanan udara bergerak ini memberikan kelompok paramiliter itu kemampuan pertahanan udara lebih mumpuni di tengah pertempuran yang sedang berlangsung dengan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF).
Dilaporkan sejak awal tahun, RSF telah menerima kendaraan lapis baja & logistik dari UEA, beserta sistem pertahanan udara FK-2000 dan kini FB-10A SHORAD. (RBS)


Jika melihat lagi ke belakang, hubungan antara militer Sudan (SAF) dan pasukan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) telah berubah secara dramatis dari yang sebelumnya bersekutu (dibentuk awal tahun 2000 dari milisi Janjaweed yang didukung pemerintah Sudan untuk melawan kelompok pemberontak di Darfur hingga upaya pengintegrasian pada tahun 2013 di bawah naungan Badan Intelijen dan Keamanan Nasional dan menempatkannya ke dalam struktur komando militer, meski tetap mempertahankan otonominya) menjadi musuh bebuyutan (pasca kudeta 2019 hingga perebutan kekuasaan pasca-kudeta militer lainnya tahun 2021) yang akhirnya memicu perang saudara pada April 2023 sampai dengan saat ini.
Singkatnya, hubungan mereka bergeser dari aliansi oportunistik yang didasari oleh kepentingan bersama menjadi konflik terbuka yang dipicu oleh ambisi kekuasaan, perbedaan kepentingan, dan kegagalan integrasi
The Sudan case illustrates that modern conflicts are far more complex than just local skirmishes. Instead of being purely about military strength, we see the role of transnational networks from Chad and Libya to the UAE—in redirecting air defense technology. This underscores that contemporary warfare doesn’t only occur on the battlefield but also in diplomatic, financial, and hidden logistical arenas.
Interestingly, the transfer of the FB-10A system to the RSF demonstrates the rapid adaptation of non-state actors to modern military technology. The RSF isn’t an official air force, yet now they possess advanced air defense capabilities—shifting the internal power balance within Sudan and creating a risk of wider escalation.
Structurally, this pattern reveals the interaction between states, militias, and proxies. The UAE’s role as a funder shows that regional conflicts are often played out through third-party channels, blurring lines of accountability. It also signals a global trend: countries increasingly influence conflicts via non-traditional means rather than direct intervention.
From a humanistic perspective, the underlying impact on Sudanese civilians is stark: rather than protection, advanced military technology could prolong conflict and increase uncertainty for the population. This case highlights the deep interconnection between regional politics, technology, and human lives on the ground.