AIRSPACE REVIEW – Usai serangan AS terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada hari Sabtu, Parlemen Iran telah memberikan suara untuk mendukung penutupan Selat Hormuz, salah satu jalur transit minyak paling penting di dunia.
Namun, keputusan akhir apa pun tentang pembalasan akan berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Pemungutan suara parlemen hanya memberi tahu tentang opsi yang akan diambil.
“Parlemen telah mencapai kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup, tetapi keputusan akhir dalam hal ini berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi,” Komandan Garda Revolusi Ismail Kowsari yang juga anggota Komisi Keamanan Nasional Parlemen, mengumumkan hal itu pada hari Minggu dikutip Al Arabiya dan Jerusalem Post.
Pemungutan suara dilakukan pada hari Minggu setelah Operation Midnight Hammer AS di mana tujuh pesawat pengebom siluman B-2 terbang ke Iran dan menjatuhkan 14 bom Massive Ordinance Penetrator (MOP) di dua lokasi nuklir Iran, termasuk lokasi Fordow. Lokasi ketiga dihantam rudal jelajah Tomahawk yang diluncurkan dari kapal selam, tulis Newsweek.
Serangan AS bersandi “Operasi Palu Tengah Malam” itu dilakukan terhadap fasilits nuklir di Isfahan, Fordow, dan Natanz. Hal ini sekaligus menandai keterlibatan langsung pertama Amerika Serikat dalam Perang Israel-Iran.
Serangan AS mendapat reaksi keras, dengan banyak pihak yang mengutip kurangnya persetujuan kongres untuk tindakan militer atas restu Presiden Donald Trump tersebut.
Selat Hormuz adalah jalur air sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Pada bagian paling sempitnya, selat ini memiliki lebarnya sekitar 21 mil (33.7 km). Terdapat dua jalur pelayaran selebar 2 mil (3,2 km) di setiap arahnya.
Sekitar 20 persen perdagangan minyak global melewati Selat Hormuz. Beberapa ahli mengatakan, jika Iran memutus akses ke Selat Hormuz maka harga minyak dapat langsung melonjak 30 hingga 50 persen, sementara harga gas juga naik hingga 5 USD/galon.
Dalam Perang Iran-Irak pada tahun 1980-an lalu, Iran menargetkan kapal tanker minyak dan fasilitas pemuatan minyak.
Tindakan Iran itu tidak sepenuhnya menutup selat tersebut, tetapi menyebabkan kenaikan tajam premi asuransi pengiriman dan keterlambatan lalu lintas laut.
Iran telah lama meyakini bahwa mereka dapat menutup Selat Hormuz sebagai pilihan terakhir untuk eskalasi.
Menutup selat ini berarti membuatnya tidak dapat dilayari. Angkatan Laut Iran mungkin akan meletakkan ranjau di air untuk menghalangi kapal atau militer dan menembakkan rudal untuk mengganggu kapal tanker.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada hari Minggu meminta China untuk mencegah Iran menutup Selat Hormuz, salah satu rute perdagangan minyak mentah terpenting di dunia.
“Saya mendorong pemerintah China di Beijing untuk menghubungi mereka mengenai hal itu, karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk minyak mereka,” kata Rubio dalam sebuah wawancara di Fox News.
China adalah pelanggan minyak terpenting Iran dan memelihara hubungan persahabatan dengan Republik Islam tersebut.
Menteri luar negeri Iran memperingatkan pada hari Minggu sebelumnya bahwa Republik Islam tersebut menyimpan semua opsi untuk mempertahankan kedaulatannya.
Rubio menambahkan bahwa menutup Selat Hormuz akan menjadi bunuh diri ekonomi bagi Iran karena ekspor minyak Republik Islam tersebut melewati jalur air tersebut.
Iran adalah produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, yang memproduksi 3,3 juta barel per hari. Negara itu mengekspor 1,84 juta barel per hari bulan lalu, dengan sebagian besar dijual ke China, menurut data dari Kpler. (RNS)


Konsekwensi global yang harus diterima. Kalau sudah begini AS sebenernya masuk ke jebakan Israel dimana harus terlibat dalam konflik lagi yang akan menghancurkan ekonomi mereka.
Mungkin Iran berganti rezim? Mungkin saja. Mungkin Israel juga berganti rezim? Mungkin saja. Mungkin AS mengalami kolaps seperti Uni Soviet? Mungkin saja.