Patut Diapresiasi, Perjalanan N219 Masih Panjang

PTDI

Di balik penilaian skeptis, beragam kritik, maupun dukungan, keberhasilan penerbangan perdana pesawat komuter ringan N219 buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) pada Selasa (16/8/2017) sangat membanggakan.

Paling tidak, PTDI berhasil membuktikan kepada khalayak dan juga pemerintah, bahwa pesawat produk dalam negeri yang pembuatannya dimulai tahun 2014 dengan jadwal penerbangan perdana yang mundur beberapa kali dalam beberapa bulan terakhir itu toh akhirnya dapat mengudara juga.

Pada tahap ini, PTDI telah menambahkan langkahnya. Tidak mudah mengudarakan pesawat prototipe. Karena, walau secara hitung-hitungan sudah mantap, hal itu belum menjamin seratus persen semua komponen kendali terbang pesawat berikut semua sistemnya dapat berfungsi sesuai yang diharapkan.

Keberanian pilot in command Capt Esther Gayatri Saleh, kopilot Adi Budi Atmoko, dan dua flight engineer Yustinus Kuswardana dan Iqbal dalam mengawaki N219 dalam penerbangan perdananya, patut mendapat apresiasi. Dedikasi mereka mengabdikan diri di industri pesawat dalam negeri yang jauh dari kesan glamor merupakan pilihan sulit namun membanggakan.

Bagi pilot uji dan kru pendukungnya, pertaruhan di setiap penerbangan perdana tentu adalah nyawa. Di mana pun hal itu berlaku universal. Untuk penerbangan perdana ini, keempat awak pesawat telah mempersiapkan diri sejak Januari lalu.

Ratusan pegawai PTDI dengan seragam biru berjejer di luar batas pita kuning di sisi barat landasan Lanud Husein Sastranegara menyaksikan detik-detik pesawat bermesin dua PT-6A-42 turboprop buatan Pratt & Whitney Canada dan berkapasitas muat 19 penumpang itu berlari, mendongakkan hidungya, dan terbang.

Sehari sebelumnya, dalam uji lompat (hop test), N219 dengan nomor registrasi PK-XDT itu malah “kebablasan” mengangkat hidungnya dan akhirnya mengudara beberapa kaki di atas landasan. Itulah sebenarnya momen terbang perdana N219 namun tidak resmi.

PTDI
Pada Rabu pukul 09.13 WIB sehari jelang Hari Kemerdekaan RI ke-72, pesawat benar-benar mengudara dan terbang selama 26 menit ke ketinggian 8.000 kaki di wilayah udara Kota Kembang hingga ke daerah Batujajar. Seluruh pegawai PTDI berikut warga yang menyaksikan momen bersejarah itu tampak bersuka cita melihat keberhasilan penerbangan hingga pilot Esther kembali berhasil mendaratkan kembali N219 dengan mulus.

Esther dan para kru mengaku tidak cemas manakala berada di dalam kokpit dan kabin pesawat. Mereka yakin terhadap segala uji coba di laboratorium mengenai karakteristik pesawat ini. Lebih jauh diakui, performa N219 sangat baik. Demikian juga mereka sangat yakin karena N219 telah melakukan berbagai uji darat seperti run-up mesin, short taxiing, long taxiing, high speed taxiing, dan hopping test.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang menjadi perancang pesawat sekaligus pengalokasi anggaran N219, sukses berkolaborasi dengan PTDI. Ini merupakan proyek pesawat pertama yang dikerjakan bersama oleh Lapan dan PTDI. Sebelumnya, PTDI mengerjakan seluruh pekerjaan mulai dari perancangan, pengujian, hingga produksi massal dibantu oleh instansi-instansi lain.

N219 sendiri belum mendapatkan nama resmi. Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi Mohammad Nasir sehari sebelum penerbangan perdana menyatakan kalau ia akan melaporkan hasil uji terbang perdana kepada Presiden Joko Widodo sekaligus memohon untuk memberikan nama bagi N219.

Nilai positif

Dengan keberhasilan tersebut, N219 yang dirancang sebagai pesawat perintis dan mampu mendarat di landasan-landasan pendek (lepas landas kurang dari 600 meter), diharapkan dapat membawa nilai positif bagi kebangkitan PTDI di masa kini dan masa-masa mendatang.

Kerinduan akan hadirnya pesawat buatan dalam negeri menjadi dambaan banyak pihak. Hendaknya memang, pesawat yang dibuat tidak hanya tertulis di buku sejarah pernah melakukan penerbangan perdana. Melainkan terus berkembang dan laku di pasaran.

Pengalaman pahit N250 cukup memberikan banyak pelajaran. Seperti digambarkan dalam film biografi BJ Habibie di mana N250 menyisakan kepiluan mendalam bagi bangsa ini. BJ Habibie sendiri hanya bisa memandangi si Gatotkaca sambil mengusap-usap baling-baling pesawat yang sudah tidak berdaya di dalam hanggar PTDI itu.

Apa yang terjadi dengan N250, tentu tidak kita inginkan dialami oleh N219. Membuat pesawat itu bisa jadi mudah untuk ukuran pabrik pesawat yang telah 41 tahun resmi didirikan Pemerintah Indonesia (1976). Akan tetapi, kelanjutan setelah itu yang menjadi tanggung jawab negeri ini.

Pembiayaan untuk melanjutkan segala proses pengujian, 400 jam terbang sebelum mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Perhubungan, dan biaya-biaya lain yang masih dibutuhkan harus menjadi tanggungan negara dan tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk berkelit apabila telah berkomitmen mendukung kemandirian industri dalam negeri.

Tantangan yang dihadapi oleh PTDI dalam memroduksi N219 nantinya, adalah juga berkomitmen menjaga kredibilitas sebagai industri dirgantara panutan. Melakukan pelayanan yang baik kepada pembeli dan pelanggan, bertanggung jawab akan produksi suku cadang dan layanan purna jual, yang muaranya mampu memberikan jaminan kepada operator akan pesawat ini.

Sikap-sikap kritis dan masukan konstruktif dari berbagai pihak terhadap PTDI tetap dibutuhkan apabila PTDI ingin survive dan tumbuh menjadi industri dirgantara raksasa.  Karena dengan cara itu, PTDI akan mampu berada di trek yang benar. Seperti pil, ditelan pahit namun menyehatkan. Bukan hanya pujian-pujian yang memabukkan.

Semoga, N219 memberikan harapan baru, bukan harapan palsu. Perjalanan masih panjang, masih dibutuhkan belasan hingga puluhan tahun lagi sampai pesawat ini mampu membuktikan diri sebagai pesawat paling tangguh di kelasnya yang dijual dengan harga kompetitif dibanding kompetitornya dari luar.

Kita berharap, N219 mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dan juga berjaya di berbagai negara sebagai produk putra bangsa.

Roni Sontani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *